Senin, 05 November 2012

Tunanetra



Latih Kepekaan Anak Tunanetra Mulai Dari Perabaan Sampai Penciuman

Mata adalah indera untuk melihat dunia. Dengan mata, seseorang bisa menikmati pemandangan sekitar, membaca dan menyerap ilmu pengetahuan, menyaksikan banyak peristiwa dan mengagumi keindahan alam.

Siti Kasimi (32) mengakui bahwa komunikasi dengan anak perempuannya bernama Ita, cukup baik. “Selama 14 tahun, komunikasi memang terhambat pastinya. Hanya saja karena saya bertemu setiap hari dan memenuhi kebutuhannya, jadi sudah terbiasa.” ujarnya.

Ketunanetraan ini, berimplikasi langsung pada kemampuan penyandangnya dalam mengakses informasi. Hilangnya indera penglihatan akan membawa berbagai dampak, baik secara mekanis maupun psikologis. Indera penglihatan merupakan indra pemadu segala rangsang yang diterima individu.

Siti menceritakan sekilas mengenai penyebab putrinya mengalami gangguan fungsi indera. “Dulu, anak saya lahirnya prematur. Sembilan bulan, namun berat badannya tidak sampai 2 kilogram. Kata dokter, dia harus diinkubator, maka saya menurut. Selama dalam inkubator, rupanya suhu udara di dalamnya terlampau panas. Sehingga berpengaruh pada retina matanya. Sementara kan, bayi prematur itu organ-organ inderanya masih sangat lemah ya,” kata Siti.
Tidak berfungsinya indera penglihatan, akan cenderung memfungsikan indra pendengaran dan perabaan secara intensif. Kondisi indera yang demikian, akan membawa dampak pada layanan pendidikan, khususnya dalam aspek pengolahan informasi bagi penyandang tuna netra.

Untuk belajar membaca dan menulis, umumnya anak-anak penyandang tunanetra menggunakan huruf braille. Namun, bagi kebanyakan orang, pastilah sulit untuk memahami tulisan mereka tanpa memiliki pengetahuan dasar braille. Sehingga, teknik pengajaran bagi siswa Tunanetra, di SLBN adalah kepekaan. Mulai dari melatih kemampuan taktual atau perabaan, bau-bauan, berjalan bersama pendamping, lalu mulai berjalan tanpa pendamping. Setelah itu mulai berjalan sendiri menggunakan tongkat putih. Barulah kemudian dia mulai jalan sendiri dari jarak yang paling dekat, sampai ke tempat umum, papar Mulyono.

Tidak bisa melihat bukan berarti tidak bisa melakukan apa apa. Apalagi tuntutan dunia saat ini dengan berbagai kemajuan teknologi, maka keterbatasan fisik tidak harus menjadi sebuah halangan yang berarti. Buta bukan berarti pasrah. Mengeluh pun memang wajar. Namun, tidak berbuat apa-apa, bukanlah hal yang disarankan. Tunanetra, merupakan sebuah jendela, agar kita berusaha lebih baik dan bersyukur pada apa yang kita miliki. (*/nno)

Tunarungu



Gunakan Program Persepsi Bunyi dan Irama
Pendengaran adalah fungsi penting dan sangat berharga dalam kehidupan, terutama dalam berkomunikasi dan bersosialisasi. Ketidakmampuan pendengaran sangat erat kaitannya dengan berbicara. Biasanya, penderita tunarungu, cenderung kesulitan untuk berbicara. Dibutuhkan kemampuan khusus untuk dapat berkomunikasi dengan normal terhadap penderita tuna rungu. Ketidakmampuan untuk mendengar, membuat tunarungu lebih mengerti berkomunikasi menggunakan bahasa isyarat.
Seseorang yang menderita tunarungu, biasanya sulit bersosialisasi dengan masyarakat. Masyarakat pun beranggapan miring dan cenderung meremehkan penderita tunarungu. Anggapan miring yang sering muncul di masyarakat, penderita tuna rungu, merupakan orang yang tidak bisa disejajarkan dengan masyarakat normal, karena ketidakmampuan mereka dalam mendengar.
Namun, hal tersebut ditepis oleh Mulyono, Kepala Sekolah Luar Biasa, Gunung Bahagia Balikpapan. “Komunikasi yang dilakukan seseorang, bisa melalui verbal dan nonverbal. Orang normal, tidak jarang pula melakukan komunikasi melalui gerakan nonverbal. Hanya dengan melakukan isyarat tubuh tertentu, mereka sudah menyampaikan suatu pesan,” papar Mulyono. Karena itu, penyandang tunarungu yang memang tidak mampu mendengar dengan baik, mengandalkan gerakan tubuh, penglihatan, dan isyarat yang diberikan lawan bicara.
SLBN memiliki program komunikasi persepsi bunyi dan irama. Dan kebanyakan murid Tunarungu menggunakan alat bantu hearing aid. Kegiatan tersebut bertujuan untuk bina wicara atau speak teraphy. Aktivitas melatih bicara untuk berkomunikasi secara lisan dengan orang lain. Kegiatan belajarnya pun dipisahkan tergantung kelas tingkatannya. “Sebenarnya kita punya buku dasar-dasar bahasa isyarat. Tapi, sebaiknya kita tidak menggunakan buku tersebut, karena malah akan memperlebar jarak orang normal dengan anak Tunarungu. Tidak semua orang, bisa berbahasa isyarat,” kata Yuliartu Rahayu, pengajar kategori B kelas 6. Lantaran para pengajar sepakat untuk melatih mereka berbicara, maka komunikasi langsung sangat diandalkan demi mewujudkan Speak Theraphy.
Persepsi bunyi dan irama sendiri, caranya dengan menggunakan alat musik yang perbedaannya ekstrim. Mulai dari suara keras, hingga getaran saja. Lalu membedakan dari mana arah suara tersebut datang, kiri, kanan, depan, atau belakang. Kemudian, kuat lemahnya suara. Biasanya menggunakan gong atau alat musik lainnya yang menghasilkan suara keras.
Untuk lebih efektif, para pengajar melakukan pembinaan dengan cara pendekatan individu. “Program khusus yang dipakai adalah PPI (Program Pembelajaran Individual), karena mempertimbangkan kecepatan daya tangkap anak yang beda-beda,” Mulyono menambahkan.
Menderita tunarungu, bukan akhir segala-galanya. Dan tentu tidak diinginkan oleh siapapun. Sedikitnya kesadaran kita untuk menerima kekurangan seseorang, tentu bisa menimbulkan kesenjangan. Apabila, hal seperti ini terus menerus dibiarkan, akan semakin banyak penyandang cacat yang telantar. Tentunya, kesejahteraan masyarakat tidak akan tercapai secara merata. Dan tidak semua orang dapat memahami kondisi fisik dan psikologis mereka. (*/nno)




I Love You, Pah ...

Aku tidak begitu jelas mengingat bahkan menyadari suara Ayahku yang merasuk ke dalam telingaku, mengumandangkan adzan untuk menyambut kelahiranku ke dunia. 
Yang aku tahu, dia selalu mengajarkan aku tentang bagaimana cara berjalan dan berlari di usiaku yang masih balita. Dia tersenyum menyambut langkah kakiku yang masih belum terlalu kuat untuk menapaki kehidupan. Dia selalu yakin padaku bahwa aku pasti bisa meretas lika-liku di masa yang kelak datang.
Masih kuingat, dia memandikan aku saat usiaku bahkan belum genap 5 tahun. Sesekali menyuapiku makan dan mengajarkan aku bicara tentang kebaikan.
Aku masih ingat,
Dia mengantarkan aku masuk ke pendidikan di Taman kanak-kanak. Dengan mobil tuanya, diantarkannya aku sampai di depan pagar sekolah, bahkan sesekali dia ikut mengantarkan sampai ke depan kelas.
Tak kulihat raut lelah di wajahnya, sementara sesaat setelah melihatku duduk manis bersama ibu guru, dia langsung berangkat menunaikan pekerjaannya di kantor. Pulang pada sore hari, bahkan terkadang lembur dan baru tiba di rumah saat malam telah larut. 
Bulan demi bulan sampai tahun pun berganti,
Aku duduk di bangku sekolah dasar, dia mengajakku sarapan di meja makan, memberiku uang saku untuk jajan di sekolah, dan mengantarkan aku sampai di depan pintu bis sekolah. Dia mulai tak lagi mengantarkankanku dengan mobil tuanya. Katanya, “Nanti Ayah bisa terlambat ke kantor.”
Dan di hari ini, aku menyadari maksudnya adalah “Belajarlah mandiri, Nak.”
Sampai kemudian aku naik kelas di setiap tahunnya. PR apapun di sekolah, sering kali disempatkannya untuk membantuku menyelesaikannya. Bahkan ketika guru di sekolah memintaku untuk mengerjakan tugas yang diharuskan membeli bahan di luar rumah, Ayah bersedia mengantarkanku, meskipun lelah dari sepulangnya dia bekerja seharian di kantor.
Pernah di saat dia sakit pun, dia minta dipijat. Aku merasa kesal dan dengan wajah merengut aku menekan-nekan punggungnya dengan jemariku. Katanya, “Biar cepat sehat, Ayah ini dipijat kamu.”
Dan di hari ini, aku menyadari maksudnya adalah “Belajarlah peduli dengan orangtua, Nak.”
Sampai aku masuk ke sekolah menengah pertama, Ayah mulai mengantarkan aku ke pintu bis sekolah. Dia hanya melihatku dari pintu rumah, sambil memasang sepatu, lalu menghabiskan kopinya di meja teras.  Bahkan jika kemudian aku harus naik angkutan umum sendirian, dia tidak akan mengantarkan aku pergi ke sekolah.
Hari terus berlalu, sampai kemudian aku merasa tak lagi diperhatikan. Kasih sayang kedua orangtuaku kurasa mulai berkurang. Mulailah aku berulah. Beberapa keusilan dan kenakalan kubuat bersama teman-temanku di sekolah. Bahkan sampai aku dimarahi oleh pihak sekolah. Ayah muncul di sekolah, berbicara dengan guru di jam makan siang. Saat melihatku, dia tidak memarahiku, malah dia tersenyum. 
Dan di hari ini aku tahu, bahwa apapun yang terjadi pada proses kemandirianku, dia akan tetap selalu berada di belakangku untuk berjaga kala tiba-tiba aku terjatuh dan berbuat salah. Dia tidak akan berkata apa-apa, hanya mengulurkan tangan untuk bangkit dan berdiri. Agar aku bisa lebih kuat lagi menghadapi kehidupan.
Di sekolah menengah atas, Ayah tak lagi menoleh padaku. Bahkan ketika aku harus lebih sering naik angkutan umum, Karena tidak ada lagi fasilitas bis sekolah untuk seragam putih abu-abu. Dia tidak akan mengantarkan aku. Dia tidak lagi menawariku sarapan, malah tidak ada juga sarapan yang tersedia di atas meja makan. Maka aku membuat susu dan menggoreng telor sendiri. 
Di tahun kedua, kembali aku berbuat ulah bersama teman-teman sekolahku. Seperti biasa, Ayah datang menghadapi guru bimbingan konseling atas kelakukan isengku dan nilai-nilaiku yang anjlok, sementara sudah menjelang akhir tingkat dan penjurusan.
Ayah tidak memarahiku di sekolah. Dia mengajakku duduk di rumah, hanya mengeluarkan satu pertanyaan, “Mau jadi apa kamu?” sambil menonton tv. Dia bahkan tidak tersenyum dan menoleh sedikitpun padaku.
Dan hari ini aku menyadari, bahwa “Seharusnya dari awal aku sekolah, aku sudah punya tujuan yang pasti. Ayah dan Ibu ingin melihatku jadi ‘orang’.”
 Waktu dan usia tidak bisa ditunda, sampailah aku harus meneruskan sekolah dan mengambil gelar sarjanaku. 
Pertama kali aku meminta untuk melanjutkan kuliah di Luar Negeri. “Aku mau kuliah sastra, Yah.” Ayah terdiam lalu tertawa, “Jangan bermimpi terlalu jauh. Jadi pegawai kantoran di sini saja kan cukup.”
Saat itu aku ingin marah, tapi hanya bisa menangis. Lalu, dia memberiku tiket penerbangan ke Yogyakarta. Secara halus memintaku untuk kuliah di sana. Aku pun menurut, sebagai baktiku pada orangtuaku.
Ayah mengantarkan aku ke bandara bersama ibu. Dia memelukku, memberiku kekuatan untuk bisa berdiri, jatuh, bangkit dan berlari sendirian di kota orang. Dia tidak menolah padaku lebih lama, hanya melihatku di kejauhan. Tapi aku bisa merasakan kekhawatirannya dan detika dimana dia menahan airmata agar tidak jatuh tumpah, di hadapanku.
Dan hari ini aku tahu, bahwa Ayah tidak mau aku pergi ke Negeri Orang karena pastinya akan sangat sulit bagi Ayah untuk menemuiku, sementara dia masih harus terus bekerja, dan menghemat biaya.
Sampai kemudian aku memberi kabar tentang kelulusanku menjadi seorang sarjana. Ayah menyambutnya dengan kalimat, “Alhamdulillah.”
Tibalah kemudian aku mencari pekerjaan, belajar menjadi sepertinya. Mencari nafkah untuk dimulai dari diriku sendiri dengan peluh dan kerja kerasku sendiri. “Ternyata mencari pekerjaan itu tidak semudah yang kita bayangkan. Dan untuk mendapatkan uang, kita harus bekerja lebih giat.”
Ayah bahkan tidak meminta sepeserpun, dia tersenyum melihatku mulai tak lagi meminta uang saku padanya.
Lalu, tiba kudengar Ayah telah tiada, meninggalkanku yang siap menjajaki tanah di dunia, mengecap pahit dan manis kehidupan, hatiku hancur.


Dear Ayah,
Maaf Ayah, 
aku belum bisa membuatku bangga atas nafas dan langkahku di dunia. Aku belum bisa memberimu kebahagiaan yang dulu pernah kujanjikan pada diriku sendiri. Aku bahkan tidak sempat melihat dan memelukmu sebelum Ayah masuk ke dalam liang peristirahatan selamanya. 
Aku sungguh minta maaf Ayah … Aku sayang Ayah.
Kata orang, tugas seorang Ayah itu selesai ketika menikahkan Putra-Putri nya di depan penghulu. Dimana Ayah akan menyerahkan Putri yang disayangnya kepada pria yang kelak akan mengambil alih tanggung jawab atasnya. Ayah, sayang sekali tugas mu yang terakhir padaku, tidak sempat kurasakan seperti kedua kakakku sebelumnya. Tapi aku percaya, Ayah akan tetap selalu menuntunku mendapatkan pria yang terbaik, yang luar biasa, seperti Ayah.
Terima Kasih, Ayahku tersayang.
Sayangku padamu, akan terjaga di sanubariku yang luas di dasarnya.
Jaga diri Ayah baik-baik di surga, aku akan selalu berdoa untukmu agar Ayah tetap mengingatku.

Selamat Jalan …



*Rest In Peace, Ayah (16 Juli 2012)
  



SIMAK KDRT DI SEKITARMU !!!


Isu penindasan terhadap wanita terus menerus menjadi perbincangan hangat. Salah satunya, kekerasan dalam rumah tangga. Perjuangan menghapus kdrt, nyaring disuarakan organisasi atau kelompok mengenai penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan. Namun kdrt masih kerap terjadi. Selama ini, masyarakat masih menganggap kasus-kasus kekerasan yang terjadi pada lingkup keluarganya sebagai persoalan pribadi yang tidak boleh dimasuki pihak luar. Bahkan sebagian masyarakat termasuk perempuan yang menjadi korban, ada yang menganggap kasus-kasus tersebut bukan sebagai tindak kekerasan.

Data statistik lengkap mengenai kasus kdrt di indonesia, memang belum tersedia. Namun, terdapat sejumlah informasi dari LSM dan organisasi perempuan, khususnya P2TP2A yang menerima pengaduan dan membantu korban KDRT, mengungkap fakta tersebut. ‘perjuangan’ menghapus kekerasan dalam rumah tangga, kdrt, berangkat dari fakta banyaknya kasus kdrt yang terjadi dengan korban mayoritas perempuan dan anak-anak. Meskipun tidak menutup kemungkinan, pelapornya pihak suami.

Dalam undang undang nomor 23 tahun 2004, tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga, disebutkan, “Setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, atau penelantaran rumah tangga, termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan dengan cara melawan hukum, dalam lingkup rumah tangga.”

Kasus yang pernah diwacanakan Kaltim Post sebelumnya, kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) di Balikpapan perlu mendapatkan perhatian banyak pihak. Sebab, jumlah kasus ini dilaporkan meningkat signifikan. Jika pada 2011 terdapat 28 kasus, maka sampai Oktober 2012 telah terjadi 35 kasus.

Menurut Kepala Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (UPPA) Inspektur Polisi Dua Rosna Meliani, banyak faktor yang memicu terjadinya kasus ini. Faktor yang paling utama biasanya adalah munculnya WIL (wanita idaman lain) atau PIL (pria idaman lain). Seperti, perselingkuhan dan poligami, kata Rosna. Selain itu, masalah ekonomi keluarga, seperti gaji yang kurang menutupi biaya gaya hidup, juga memicu KDRT. Ada juga efek pernikahan dini yang dilakukan oleh remaja usia di bawah 20 tahun. Pola pikir yang masih labil tentunya, urai Rosna.

IPDA Rosna Meilani
Maraknya kasus KDRT yang meningkat di Balikpapan, membuat P2TP2A (Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak) kota Balikpapan angkat bicara. Hj. Arita Rizal Effendi, Ketua Umum P2TP2A Kota Balikpapan, memaparkan bahwa terjadinya peningkatan angka pelaporan KDRT merupakan kesadaran masyarakat atas hak dan kewajibannya di dalam berumah tangga. “Bisa dinilai negatif, tapi bisa juga dimaknai positif. Negatifnya, adalah pengendalian diri terhadap rumah tangga itu sendiri. Sebagai suami, tentu tugas utamanya adalah memberi nafkah, dan istri menjaga nama baik suami. Jika permasalahan ketidakseimbangan hak dan kewajiban antara istri dan suami harus menjadi konsumsi orang banyak, berarti mengarah negatif,” papar istri Wali kota Balikpapan ini.

Sebaliknya, bisa dianggap positif ketika si korban, mulai menyadari hak apa saja yang perlu dipertahankan di dalam suatu pernikahan, atau rumah tangga. Dengan mengungkapkan permasalahan, maka artinya si korban juga membutuhkan perlindungan dari orang lain pada saat merasa tidak aman di dalam rumah tangga atau pernikahannya,” tambah wanita kelahiran Yogyakarta tahun 1961 ini.
Terjadinya kekerasan dalam rumah tangga tentu bukan hanya kekerasan fisik, Arita menambahkan kekerasan dengan perkataan hingga mebuat pasangannya menjadi tertekan, juga dapat dikatakan sebagai KDRT, secara psikis. Oleh karena itu, Arita menyayangkan pernikahan yang berjalan tanpa dilandasi nilai agama yang tidak kokoh, kurang terjalinnya komunikasi dua arah antara istri dan suami, juga belum adanya keseimbangan antara knowledge dan dan emosial individunya. (*/nno)


***

Unit Perlindungan Perempuan dan Anak 



Kisah-kasih KDRT

Keluarga harmonis, tentu diidamkan oleh setiap pasangan menikah. Keharmonisan merupakan suatu kepuasan tersendiri untuk meraih perasaan aman, nyaman, dan bahagia di dalam rumah tangga. Dipaparkan Hj. Arita Rizal Effendi, Ketua Umum P2TP2A Kota Balikpapan, beberapa contoh kasus KDRT di Balikpapan.

ISTRI MELAPOR
Seorang suami, selain 'main tangan', juga memiliki wanita idaman lain di luar rumah. Beberapa bulan pertama, suami mulai pulang larut malam. Beberapa bulan kemudian, suami mulai jarang pulang ke rumah. Sesekalinya pulang ke rumah, saat istrinya cerewet sedikit, langsung dipukul oleh suaminya. Beberapa kali terjadi kekerasan fisik oleh suami kepada istrinya, maka dengan keberanian yang sudah memuncak, istri melaporkan suaminya ke kantor polisi.

SUAMI MELAPOR
Seorang istri, terlalu menuntut banyak kepada suami. Biasanya, pemenuhan kebutuhan materi untuk gaya hidup yang tinggi. Yaitu konsumsi belanjaan branded, perawatan kecantikan, travelling, dan lain-lain yang begitu berlebihan, tanpa memperhitungkan pendapatan suami. Pada saat suami merasa sudah lelah bekerja, dengan tuntutan istri yang beragam dan omelan berbagai macam permintaan, maka suami datang ke kantor polisi. Melaporkan terjadinya kekerasan secara psikis.

INCEST
Seorang Ayah, tega menyetubuhi anak kandungnya sendiri. Pada saat istri tidak di rumah, sang Ayah hanya ditinggal berdua dengan anak gadisnya yang mulai beranjak remaja. Saat muncul hasrat Ayah ingin bersetubuh, maka anak yang sealiran darah ini menjadi korban. Beberapa kali diperlakukan tidak senonoh, anak diancam bahkan dipukuli oleh Ayah agar tidak menceritakan kejadian tersebut kepada siapapun. Namun, karena si anak akhirnya hamil dan tidak tahan dengan perlakuan Ayahnya, maka si Anak melapor ke kantor polisi.

Ragam kasus seperti disebutkan di atas, diproses di UPPA (Unit Pemberdayaan Perempuan dan Anak). Dalam proses tersebut khususnya untuk pasangan suami dan istri, memiliki satu masa yang disebut mediasi, dimana antara suami dan istri memiliki kesempatan untuk berunding kembali. “Tidak jarang, pelapor mencabut berkas perkara, saat mengingat bahwa masih ada anak-anak yang membutuhkan perhatian dari kedua orangtuanya,” terang IPDA Rosna Meilani, Kanit UPPA. (*/nno)

 ***


Apa Kata Srikandi UPPA Balikpapan


UPPA, unit pengaduan perilaku tidak baik terhadap perempuan dan anak-anak terletak di samping wisma purwa, tepat di depan hotel atomik. Dengan ayunan, pot bunga, dan cat warna hijau, memang tidak tampak seperti kantor polisi pada umumnya. Unit yang ruangannya terpisah dengan Polres di wilayah klandasan ini, ternyata memang sengaja dilakukan. Rosna menjelaskan, hal tersebut dilakukan demi menjaga psikis korban. “Biasanya, masyarakat yang datang ke kantor polisi kalau melihat seragam, psikisnya tentu berbeda. Kebanyakan orang merasa takut terlebih dulu sebelum masuk,” kata Rosna.

Maka UPPA sengaja terpisah dan menggunakan baju sipil (biasa), agar masyarakat mau mendekat dan merasa tidak ada jarak. “Sehingga mereka mau lebih terbuka untuk menceritakan suatu permasalahan, dan kami mudah untuk melakukan pendekatan secara personal,” tambahnya. Dengan adanya penugasan piket, unit PPA siap standby menerima laporan selama 24 jam sehari.

Febrina, anggota UPPA menyampaikan rasa prihatinya terhadap kasus-kasus yang dilaporkan ke UPPA Satreskrim Polres Balikpapan. Ia sendiri, sebagai perempuan merasa sangat sedih ketika seorang pelapor datang dengan wajah yang lebam dan bibirnya sampai pecah. Perempuan berusia 24 tahun ini, selama mendampingi proses pidana terhadap korban, mengaku tak jarang ia pulang larut untuk mendampingi korban. Meskipun ia belum pernah menikah, namun ia sering merasa heran, “Perempuan kan seharusnya diberikan perlindungan. Diberi kasih sayang. Kenapa dipukuli sampai sebegitunya,” ujarnya. Menurut penuturannya, para pelapor yang datang ke UPPA, tidak semuanya ingin melalui proses hukum. “Justru sering juga, mereka hanya ingin memberikan efek jera kepada suaminya,” terangnya.

Ungkapan senada disampaikan Hastuti dan Nova, yang juga anggota UPPA menilai dengan adanya kejadian kasus-kasus KDRT, ia mendapatkan pengalaman berharga untuk diri mereka. Dua wanita ini mengaku prihatin sebagai sesama perempuan, meskipun berum pernah mengalami kekerasan fisik di rumah.

Sebagai kepala unit PPA, IPDA Rosna menghimbau kepada masyarakat terutama para korban KDRT. “Jangan segan melapor kepada kami di Unit Perlindungan Perempuan dan Anak. Karena kami selalu berusaha menjadi sahabat bagi para wanita, remaja, ataupun korban KDRT. Berbagilah bersama kami,” kata Rosna.

IPDA Rosna Meilani (33) memimpin, Briptu Hastuti Damayanti (24), Briptu Nova Hilawati (27), Briptu Lelik Suhardini (25), Briptu Febrina E Lingga (24), Briptu I Wayan Eka (27), Brigadir Farida (27), Brigadir Kusmanto (32), Bripka Maulani (32). Dengan sembilan personil, 6 diantaranya wanita dan 3 diantaranya adalah laki-laki, tim UPPA berusaha bekerjasama dengan baik. (*/nno)

***


Tips Menghindari KDRT

Psikolog Triharim, Ketua Umum P2TP2A Hj. Arita Rizal Effendi dan IPDA Rosna, menyampaikan beberapa tips untuk menghindari KDRT :

  1. Bangun pondasi keimanan di dalam keluarga
  2. Perlu digalakkan pendidikan mengenai HAM dan pemberdayaan perempuan
  3. Menyebarkan informasi dan mempromosikan prinsip hidup sehat, anti kekerasan terhadap perempuan dan anak
  4. Menolak kekerasan sebagai cara untuk memecahkan masalah, termasuk sosialisasi penyuluhan mencegah kekerasan di dalam pernikahan
  5. Meminta bantuan pada lembaga berwenang yang menangani kasus perempuan dan anak-anak untuk mendapat perlindungan
  6. Bagi istri perlu menjalani terapi kognitif dan belajar utk berperilaku asertif.
  7. Suami, istri dan anak meminta bantuan psikolog untuk terlibat dalam Terapi Keluarga, dimana masing-masing bisa sharing. Sehingga menumbuhkan hubungan pernikahan yang sehat, bukan dilandasi oleh kekerasan, namun dilandasi oleh rasa empati.
  8. Belajar mengatur porsi emosi, sehingga jika ada perbedaan pendapat, tidak perlu menggunakan kekerasan. Karena berpotensi pada anak melakukan imitation atau meniru perilaku tersebut. Oleh karena itu, anak perlu diajarkan juga bagaimana bersikap empati dan mengatur emosi sedini mungkin. Namun semua itu tetap harus diawali dari orangtua. (*/nno)

***

Data kasus KDRT Sepanjang 2012
 
Januari : 5 kasus
Februari : -
Maret : 4 kasus
April : 4 kasus
Mei : 3 kasus
Juni : 4 kasus
Juli : 7 kasus
Agustus : 2 kasus
September : 1 kasus
Oktober : 5 kasus

Total Kasus : 35 kasus
Korban perempuan dewasa : 34 orang
Korban anak-anak : 1 orang




Pengaduan masyarakat untuk korban KDRT :

1. UPPA – Unit Perlindungan Perempuan dan Anak
Alamat : Jl. Apt. Pranoto Blok D No. 5 A Balikpapan
Hotline : 0542 - 5680143

2. P2TP2A – Pusat Pelayanan Terpadu Perlindungan Perempuan dan Anak
Alamat : Jl. Milono No. 30 Gn. Pasir Balikpapan
Hotline : 0542 - 7074411

3. KPB – Koalisi Perempuan Balikpapan
Alamat : Perumahan Wika Balikpapan



SIMAK KDRT DI SEKITARMU, LAPORKAN !!!