Selasa, 23 Agustus 2016

KOPI JODOH


Sebuah Cerpen
Oleh : Neno Rachmadana


Kata siapa, putus cinta adalah momen yang pas untuk bunuh diri? Yang pasti, bunuh diri gara-gara putus cinta adalah hal terkonyol yang bakal kamu tertawakan seumur hidup, jika ternyata kamu masih hidup. Lupain soal bunuh diri, hidup ini indah banget! Buat saya, putus cinta adalah awal dari takdir Tuhan. Ibarat kertas putih sebagai hidup, maka tinta adalah takdir. Ketika kamu putus cinta, tinta tidak pernah mengotori kertas putih. Tinta justru menawarkan cerita baru dalam hidup kamu.
Saya Dendi. Saya juga pernah putus cinta kok. Justru, dari sanalah takdir saya berawal.
***
Kuliah saya selesai. Artinya saya diwisuda, lalu harus meninggalkan Jogja, kemudian mengakhiri kemerdekaan sebagai mahasiswa dan kembali terkurung dalam sangkar rumah beserta peraturan orangtua saya yang kolot di kampung halaman. Penderitaan saya belum berhenti sampai di sana.
Angkat kaki dari Jogja, bukan cuma kemauan dari keluarga semata, tapi juga Alda, pacar saya yang minta putus gara-gara dia nggak bersedia menunggu saya mapan dan pacaran jarak jauh. What the hell! Akhirnya… nggak punya kerjaan, nggak punya uang dan nggak punya pacar. Hidup ini rasanya pahit!
Seminggu pertama, males banget keluar rumah! Setiap hari cuma nonton tv. Tiap nonton ftv yang ada adegan pacaran, selalu berhasil bikin saya tiba-tiba menendang kaki meja.
Minggu kedua, saat saya siap keluar rumah, meskipun cuma ke warung kompleks, saya menyaksikan dua insan yang gandengan sambil tertawa mesra. Yang bikin galau bukan gara-gara mereka gandengan, coy! Tapi mereka masih bocah 5 tahun! Sedangkan saya di umur 23, jomblo! Rasanya mengenaskan!
Begitu terus hidup pahit saya selama satu bulan. Malas keluar rumah, malas nonton tv, cuma bengong di kamar, main gitar nggak jelas sambil nulis-nulis puisi. Orangtua saya akhirnya ngamuk, mengira saya nggak berusaha cari kerja! Cari kerja susah, man! Puluhan CV sudah saya sebar sejak hari pertama saya menginjakkan kaki lagi di ibukota! Tapi sampai hari ini, belum juga ada panggilan. Duit jajan juga nggak pernah lagi dikasih sama bokap. Terus saya harus apa? Salto?! Kayang?! Ya kali!!
***
Reta, sepupu saya yang usianya 2 tahun lebih tua, datang dari Medan. Dia minta ditemani untuk berkeliling Jogja.
“Mau ngapain sih, emangnya?” saya enggan menjawab ajakannya.
“Aku harus survey kopi, untuk acara kantorku yang mau kedatangan tamu dari bos-bos di seluruh Asia.” jawabnya, mengambil posisi duduk di atas meja bukuku.
“Kenapa harus kopi? Kenapa nggak teh atau susu?” saya masih ogah-ogahan menyambut, seraya memangku gitar.
Ownernya minta kopi. Bukan teh, apalagi susu. Memangnya kau pikir warung?!” Dia melemparku dengan buku. Secepat mungkin kuselamatkan gitarku dari serangan itu.
“Kenapa harus aku?” Saya masih bersikeras enggan, mengiyakan ajakannya.
Dia bergegas mengambil buku lainnya, dua sekaligus.
“Kenapa harus Jogja?” Saya pun sewot, seraya bangkit dari kasur.
Dia terdiam, lalu membatalkan ayunan dua buku tebal milikku, lantas meletakkannya sedikit membanting.
“Nah, nampaknya tau aku, dimana inti masalah kau.” Dia memicingkan matanya, memandangku penuh curiga.
Saya kembali duduk di kasur, mulai salah tingkah.
Bah! Mau sampai kapan kau menghindari masa lalu? Anggaplah mantan kau tu sudah mati dia dicabik-cabik harimau. Kudoakan, pokoknya.” Dia mendadak emosi, mengingat perlakuan semena-mena Alda yang sering  saya ceritakan padanya. “Dengar Den, kau ini sarjana. Muka kau juga nggak buruk-buruk kali. Ngapain kau cuma ngurung diri di rumah. Masih banyak bidadari cantik di luar sana yang bisa kau pacari, supaya kau juga semangat cari uang. Kalau cuma kek gini aja hidup kau, main gitar, salto-salto, nggak usah aja kau hidup. Bongak kau.” Dia mendadak mencaci maki.
Kali ini, kata-katanya membuat saya berpikir lebih jauh.
“Ah, padahal tinggal bawa badan aja, lama kali kau mikir. Kubilang langsung sama om dan tante, nggak perlu banyak cakap kau nanti. Antar saja aku ke Jogja, titik.” Dia langsung beranjak dari kamarku, mengadu pada orangtuaku.
Pasrah, akhirnya kami pun berangkat ke kota pendidikan, pagi-pagi. Hingga sore, saya hanya menjadi penonton kesibukannya yang hilir mudik menelepon, meriset dan ngobrol dengan orang-orang di sekitaran hotel.
“Aku bosan, cuma di hotel.” Keluhku, yang dari pagi hanya memandangi kolam renang hotel dan tidur-tiduran.
“Cocok! Ayo bangun, kita ngopi.” Reta langsung merapikan laptopnya.
Saya mengantarkan Reta ke alamat yang didapatnya. Tentu saja, saya tahu alamat itu, jalan kaliurang. Dulu, setiap hari saya pasti melewati. Kami pun mengunjungi sebuah café khusus kopi.
Saya baru tahu, ada kedai kopi modern ini di sini. Saya suka tempatnya. Tidak berisik, tidak juga sunyi. Alunan instrumental mengalun di seluruh sisi ruangan dengan volume yang tidak begitu besar. Duduk di meja pojokan, sofa, juga dekat dengan rak buku, saya mencari posisi ternyaman supaya betah menunggu Reta menyelesaikan tugasnya. Memang dasar sepupuku yang paling supel, dia begitu cepat akrab dengan orang-orang baru, khususnya sang peracik kopinya.
Seorang waiter menyuguhkan secangkir kopi di meja. Saya yang selama ini ‘biasa-biasa’ saja terhadap kopi, hanya menatap cangkir yang diletakkan bergandengan bersama segelas air putih dan cokelat batang.
“Kalo nggak suka kopinya, cokelatnya boleh dihabisin, mas.” Kata si pengantar, berlalu pergi.
Saya sejenak melempar pandang ke sekeliling orang-orang, yang berdialog bersama lawan bicara, bercanda bersama kelompok, menikmati kopi dan … menikmati waktu. Mata ini tiba-tiba berhenti pada sosok di pojok lain ruangan ini. Beberapa kali, terhalang pandangan oleh sekelompok remaja yang menjadi jarak kami. Adalah seorang perempuan berambut lurus yang diikat kuda. Duduk sendiri, bertemankan secangkir kopi dan sehelai kertas bersama pena di tangan kanannya.
Saya tak mampu mengalihkan sepasang bola mata ini darinya. Memperhatikannya menangkup cangkir lalu menikmati aroma kopi sebelum menyeruput ke dalam mulut, melalui bibir mungilnya yang merekah setelah merasakan bulir kopi menyentuh indera pengecapnya.
Entah kenapa, saya latah meraih cangkir kopi di hadapan saya, sambil terus menatap lurus ke depan. Namun, seketika khalayan saya bubar tak beraturan, ketikan satu sentuhan kopi hangat, menyentuh lidah saya. Perhatian saya semakin teralihkan dengan wangi yang memendar di indera penciuman. Saya menatap kopi di tangan, lantas bingung. Namun, mencicipi sekali lagi, memastikan bahwa tidak ada sebutin pemanis apapun yang diletakkan di dalamnya. Kopi ini terasa hambar pada umumnya, namun rasa manis dan asam seolah begitu bersahabat di kecapan terakhir. Wangi pula. Very great coffee!
Setelah sekian menit terpana dengan rasa kopi, saya kembali menatap sosok di seberang yang kini tenggelam dalam kesibukan, berkutat dengan kertas dan pena. Sekarang, saya mampu menikmati keduanya. Memandang lukisan cantik, sambil menyuruput kopi nikmat di tangan.
Saat Reta mengajak kembali ke hotel, saya berniat menanyakan kopi apa yang tadi disuguhkan, pada waiter. Namun, pertanyaan yang keluar justru, “Mas, perempuan itu siapa?” sambil melirik punggung gadis yang sudah pergi meninggalkan café.
Si waiter hanya tersenyum menggoda, lalu melengos pergi, melayani pesanan lain. Pupuslah harapan untuk bertemu lagi dengannya.
“Ke sini aja mas, setiap hari, dari jam 8 malam. Dia pasti duduk di situ.” Sahut sang peracik kopi, yang muncul bersama Reta dari arah dapur.
***
Siang, saya sudah diajak Reta berpindah-pindah kedai. Menikmati kopi dari café ke café.
“Kulihat kau belum mengeluh soal kopi dari kemarin. Mulai suka kopi, kau?” tanya Reta, yang menampilkan logat bataknya hanya dengan keluarga, termasuk saya.
Saya tidak punya jawaban, hanya mengangkat bahu. Dalam hati ingin bilang “Sepertinya, iya.”

Jam 7 malam, saya sudah siap, menunggu Reta memberikan alamat lokasi lainnya lagi untuk didatangi. Namun Reta malah mengajakku ke kedai kopi kemarin.
“Kemarin aku sudah janji sama peracik kopinya untuk coba kopi yang baru datang.” Reta beralasan.
Saya kan hanya guide dan asistennya, jadi saya menurut saja.
Tiba di café, kami disambut riang oleh karyawan dan si peracik kopi.
“Saya mau kopi yang kemarin.” Pesanku, langsung tanpa basa-basi, sebelum duduk.
“Kemarin mas minum kopi apa?” Tanya si peracik kopi, Jimmy.
“Nah…itu dia. Saya lupa Tanya, kemarin kopi apa. Tapi saya masih inget banget rasanya. Manis dan asem, yang bersahabat.” Celotehku.
Jimmy dan reta menatapku heran, namun tertawa kemudian.
“Kalo gitu, coba cium dulu, biji kopinya. Mungkin kenal…” Jimmy langsung menyodorkan sederet toples berisi biji-biji kopi.
Begitu membuka tutupnya, hidungku mencoba mengenali wangi-wangi yang nikmat, nyaris sama seperti kemarin. Entah, apa yang terjadi pada inderaku, rasanya seperti sakau, seperti candu, seperti … jatuh cinta. Aku begitu menyukai aroma biji kopi.
Dari tujuh toples, saya memilih tiga toples yang wanginya mirip kopi yang kunikmati kemarin.
“Sari Manih, Kintamani dan Bajawa.” Jimmy mengenalkan nama-nama kopi tersebut.
“Diseduh dulu aja, biar makin yakin.” Goda Reta.
“Mau liat caranya, atau tunggu di meja, mas?” tawar Jimmy.
“Saya mau liat cara bikinnya deh.” Putusku.
Jimmy sigap, meracik tiga kopi itu satu persatu. Mulai dari menghancurkan biji kopinya menjadi serbuk, menyaringnya, hingga menuang hasilnya di depanku. Menunggu tetesan kopi yang jatuh di dalam cangkit, membuat jantungku berdegup kencang, tak sabar menemukan kenikmatan kopi kemarin.
Konsenterasinya seolah penuh, memperhatikan genangan air cokelat kehitaman yang aromanya tengah menusuk hidungku. Mencicipinya beberapa detik, saya menemukan sensasi asam yang pekat menggelitik. Ini enak, tapi bukan ini yang saya cari.
“Itu Sari Manih dari Solok.” kata Jimmy. Saya menggeleng.
Jimmy kembali meracik biji kopi dan menyeduhkannya padaku. Saya menemukan sensasi asam dan sedikit pedas di kecapan terakhir.
“Bajawa dari Flores.” Kata Jimmy.
“Enak. Tapi bukan ini.” Sangkalku, lantas menggeleng.
Reta yang duduk di sebelahku, menatapku was-was.
Jimmy menyeduhkan pilihan saya yang terakhir. Saya menemukan rasa asam dan manis yang pas, namun tidak sepekat kemarin.
“Kintamani dari Bali.” Kata Jimmy. Sayangnya, saya menggeleng lagi.
“Makanya, lain kali kalo kamu jatuh cinta sama sesuatu, cepat dikejar. Jangan ditunda. Susah kan, nyarinya.” Ujar Reta, seraya melanjutkan kopi yang tadi kuminum sebagai tester.
Seseorang baru saja masuk, langsung berdiri di sebelahku.
“Sudah datang?” tanya suara perempuan itu, membuatku menoleh.
Jimmy memberikan toples berisi biji kopi, padanya. Gadis itu membuka tutupnya dan mencium aromanya. Saya terkesima menatap wajahnya yang ternyata semakin cantik dari jarak dekat. Dia menutup toples itu, lalu tersenyum dan memamerkan lesung pipit yang mempesona. What a beautiful girl!
“Mbak Kina, kenalin ini Reta dari Medan. Dia lagi survey kopi untuk event kantornya.” Kata Jimmy.
Saya semakin penasaran pada sosok bidadari ini.
Reta menjabat tangan perempuan itu dengan mantap. “Kemarin saya mau kenalan, tapi Mba keliatan sibuk. Jadi saya ngga berani mengganggu.” Reta mencoba basa-basi.
Oh, sorry. Iya kemarin lagi agak-agak sibuk. Tapi sekarang sudah free. Apa yang bisa saya bantu?” tanyanya.
Reta dan Jimmy menjelaskan tujuan kedatangan kami, dan gadis bernama Kina itu sangat ramah menyambut antusias kami jauh-jauh dari Medan dan Jakarta.
“Saya bawa sepupu saya dari Jakarta supaya bisa jadi tour guide. Tapi malah dia yang jadi penasaran sama kopi.” Celoteh Reta.
Kina spontan menatapku. “Jadi mas mau cari kopi apa?” tanyanya.
“Kopi nang-kau dengan bismillah.” Celetuk Jimmy.
“Jimmy, mau potong gaji atau potong uang makan?” Kina melirik Jimmy, jutek.
Kami tertawa bersama. Ruangan ini menghangat, begitu bersahabat.
“Ini kopi favorit saya. Kemarin stoknya habis, makanya baru datang lagi tadi pagi. Buatkan satu untuk mas …” Kina kembali menatapku, sambil menunjuk toples yang masih digenggamnya.
“Dendi.” Saya berjabat tangan dengannya.
Sambil menunggu Jimmy meracik, Reta dan Kina berdiskusi soal kopi kesukaan masa kini. Saya yang mendengarkan, semakin mengagumi sosok Kina yang memahami seluk beluk kopi nusantara. Ternyata dia juga pandai meracik kopi. Kenapa baru terpikir sekarang, Kina adalah sang pemilik café!
Jimmy meletakkan cangkir kopi ke hadapanku, spontan membuatku menoleh. Indera penciumanku terpanggil, mengenali aromanya. Setelah mengecapnya, saya tidak mampu membohongi diri saya sendiri bahwa inilah kopi yang saya cari.
“Nah, ini dia nih.” Saya girang, membuat Jimmy dan Reta tertawa.
“Ini kopi kerinci, fresh dari kaki gunung.” Kata Kina. “Ngga semua orang suka pesan kopi, karena harganya yang paling tinggi di antara kopi-kopi lain di kedai ini., Tapi ini kesukaan saya.”
“Kalian punya kesukaan yang sama. Ehm.” Goda Jimmy. “Kemarin Mas Dendi juga nanyain Mba Kina, loh.” Bongkarnya. “Ini Kopi Jodoh, namanya.”
Kina menatapku tersipu.    
“Cocok! Mba Kina aja yang ikut ke Medan. Sekalian promosi café.” Tawar Reta.
“Asik, dapet job. Jangan ditolak Mba. Lagian kan Mba Kina sudah lama ngga jalan-jalan ke luar kota. Bisa sambil keliling perkebunan kopi di Sumatera, café ini biar anak-anak yang urus.” Jimmy mensupport.
“Ide bagus. Saya juga ikut kok, sekalian mau belajar bikin kopi sama mba Kina.” Saya menyeletuk.
“Panggil nama aja.” Lantas Kina mengangguk sepakat.
Aku tersenyum. Hari ini istimewa. Dapat kopi ciamik, dapat pula perempuan cantik. What a great day!


“Nggak sia-sia kau kubawa ke sini.” Bisik Reta di telingaku.

Rabu, 08 Juni 2016

BACKPACKER to SINGAPORE





Perjalanan ke Singapura kali ini adalah kesempatan kedua buat saya. Dulu, pertama kali pergi ke negara tetangga terdekat ini, adalah momen ulang tahun saya dua tahun silam (Mei 2014).
Nah, keberangkatan ini terselenggara gara-gara teman-teman kantor saya yang ingin mencoba berlibur ke luar negeri, namun dengan budget yang "sederhana". Akhirnya, saya menyetujui untuk menjadi "guide" ala backpacker yang dulu pernah saya jalani. 
Kalau di tahun 2014 lalu, saya hanya menghabiskan Rp 2,3 juta untuk 3 hari 2 malam ... maka kali ini beda cerita. 
Mereka mempercayakan saya soal budget membudget, hingga saya mendapatkan angka Rp 3 juta untuk 4 hari 3 malam, sudah termasuk ke Madame Tussauds Singapore, Singapore Flyer, dan oleh-oleh. 

      
Saat menukar 1 SGD = Rp 9830
HERE WE GO !!!

Pertama, kami mempercayakan maskapai AirAsia untuk tiket pesawat Pergi & Pulang. Kurang lebih @ Rp 850.000 /orang PP. 
(Fyi, tiket promo ini kami peroleh di Agustus 2015 untuk keberangkatan Mei 2016).


 


     




Narsis di dalam pesawat. Norak? Gapapa, kan nyatuin jadwal kami pekerja, bukan hal mudah.
  
   

           




    





   

Boarding Pass dari Indonesia



Kedua, kami menginap di hostel berpindah-pindah. 

Malam pertama, kami menginap di Hostel Kawan. Hmm, awalnya saya membooking Hostel Clifden di Little India. Namun, karena kami terlambat tiba di lokasi, maka kami dioper ke Hostel Kawan yang VERY NOT RECOMMENDED. Saya merasa rugi, banyak. Rugi waktu karena harus berjalan beberapa belokan lagi dari lokasi yang semestinya, dan rugi fasilitas. Di tengah malam pun, tidur saya dan teman-teman terganggu karena mendengar pertengkaran orang India di lorong. Saya yang seharusnya berada di satu ruangan Family Room ber-6 bersama teman-teman, dipisah menjadi 3 kamar, berbeda lantai pula. Semoga, kalian tidak memiliki pengalaman yang serupa dengan kami.

 
View dari salah satu kamar kami
Interior salah satu kamar
Breakfast, sebelum jalan
  
Cuma ini penyemangat mood saya di Hostel ini. Coffee Box. (Awalnya kami kira ini televisi. Oh God!)


#Cost Hostel Clifden/Kawan : @ Rp 194.000
#MRT terdekat adalah Little India.


Malam kedua, kami pindah ke Hostel Traveller@SG di King's Road Avenue. This one is a cozy place! Kami mencari lokasi ini agak kesulitan, karena lokasinya yang ternyata agak jauh jika ditempuh dengan jalan kaki. Namun, petualangan kami, membuahkan hasil. Hostel ini begitu nyaman. Bahkan, pada saat kita tiba, resepsionisnya menginformasikan bahwa ruangan Family Room orderan kami, belum dikosongkan dan dibersihkan karena pemakai sebelumnya, terlambat check out. Maka .... kami yang seharusnya mendapat 1 kamar berisikan 6 bedroom, malah diberikan kamar yang lebih besar berisikan 8 bedroom. Jadilah kami "jungkir balik" sepuasnya. Very Good Service!

  

Sarapan roti dan kopi (sepuasnya), di ruang berkumpul hostel.

#Cost Hostel Traveller@SG : @ Rp 222.000
#MRT terdekat adalah Lavender. 


Malam ketiga, kami bergeser lagi ke Hostel 60's di Serangoon, dekat dengan Mustafa Center. Saya pribadi, di sinilah lokasi yang paling nyaman di perjalanan kali ini. Family room kami sesuai orderan. Meskipun pada awalnya, kami datang kepagian untuk check-in. Sehingga kami harus menitipkan barang di loker (bagian belakang Hostel), dan mengisi waktu dengan jalan-jalan sejenak sembari mencari tempat makan. 
Meskipun 6 bedroom, tiap bedroom memiliki gorden yang menjadi batas teritori, uspaya kita tetap punya area private. Selain bersih, dan punya teras sendiri, kamar mandinya pun, sudah termasuk di dalam kamar. 


#Cost Hostel : @ Rp 217.000
#MRT terdekat adalah Farrer Park. 


Bagaimana liburan kami?


#DAY-1 (Sabtu, 7 Mei 2016), 
Kami tiba tengah malam, karena penerbangan sore, dan perbedaan waktu di Singapura, satu jam lebih cepat dari Jakarta. Kami memutuskan jalan-jalan sejenak di Changi Airport. 

 
Jalan-jalan di Changi Airport
BAHAGIA banget loh mereka, dapet kartu MRT edisi AVANGERS CIVIL WAR (IRON MAN vs CAPTAIN AMERICA)
    


Nggak seru kalo nggak nyasar. Ini kejadian pertama, kelewatan turun dari MRT. Ups, i'm sorry.
Ulangin lagi naik MRT malem-malem. Petualang banget! #agakbodohsih

Makan malam pertama kami, di warung Al-Bismi. Nasi Goreng Domba (Mutton Fried Rice). 

#DAY-2 (Minggu, 8 Mei 2016)
Liburan dimulai! 
Sekitar jam 7 pagi, kami mulai jalan ke Arab Street, berfoto di Haji Lane yang terkenal dengan lukisan mural di dinding pertokoan, juga melintas di Bugis Street (yang menjadi target kami untuk belanja di hari ke empat nanti). 

Saya

Yopan, Franky, Neno, Farid, Ivan, Herman


   


Masjid Sultan - Arab Street

        

                

    

 

    


       

    
  


 

   
Kami makan siang NASI BRIANI di Food Court di depan Vivo City Mall


    

 

Makin siang makin "panas". Kami menuju Henderson Road. Saya mengajak teman-teman mendatangi tempat favorit saya, yaitu Henderson Waves. Entah kenapa, dulu pun saya sama sekali tidak pernah mencari tahu lokasi jembatan kayu ini, namun seorang kenalan mengajak untuk mampir. Hingga akhirnya saya merasa bahwa tiap kali ke Singapore, ke sini harus dijadikan agenda tetap! Hehe. 
Well, sebelum kami ke Jembatan Henderson yang terkenal asri itu, kami mencoba tiba di pucuk Mount Faber (Fyi, lokasi ini adalah jalanan yang menanjak dikelilingi pepohonan rindang) That's why i love this place, much! 
Tujuan awal mengapa kami harus ke puncak adalah saya harus mencetak tiket untuk masuk ke Museum Madame Tussauds.
Setelah itu, berulah kami jalan-jalan di sekitar sini. Saya nggak menyangka sama sekali, bahwa tempat ini nampak seperti di dongeng-dongeng (Haha), sangat terasa view "luar negeri" nya di sini. Karena dua tahun lalu, saya hanya sampai di batas Henderson Waves.
Kejutannya adalah ... 
Kami menemukan Bell of Happiness. 
Lonceng Kebahagian, yang dipercaya sebagai simbol harapan sepasang kekasih agar Meraih Bahagia Selamanya. Bukan cuma terdapat lonceng yang super besar, tapi juga ada lonceng-lonceng kecil yang digantung para insan manusia yang berdoa agar cintanya dikabulkan para Dewa. Very Cute! 


     

 
  
     
  
    




 

  

  
Cieee ... Wajah-wajah yang lelah "mendadak nanjak"

 

Dari sana, tibalah kami di Henderson Waves Favorit saya! I really miss this place much! Semua orang menjaga kebersihan dengan tertib, angin sepoi-sepoi menyambut, dan segarnya pepohonan hijau mengelilingi tempat ini. 



  

Di sini, saya juga baru tahu, salah satu teman saya pusing berada di ketinggian ini. Oke, mungkin dia punya gejala phobia ketinggian. 

 
Ini dia ... Herman! Pucat mukanya. Semangat, Man!
Puas berfoto, kami terus mengejar waktu menyesuakan itenary yang sudah saya buat saat di Jakarta. Jam 6 sore, kami tiba di Madame Tussauds. Sebelum tiba di lokasi patung lilin, kami diajak untuk mengenal sejarah Singapura dan berinteraksi dengan para pelakon teatrikal di dalamnya. 
It was so much fun! 


       

   



Nyasar. Kejadian kedua. Haha! Where's the bus station?!


Akhirnya ... nemu juga Bus Station nya. 
 Jadi ... sebelum sampai ke Madame Tussauds, kita ngelewatin Globe Universal Studio Singapore (USS). Sayang kaaaan, kalo nggak absen foto dulu.




   


   

I like Tigers!
  
Madame Tussauds mana Madame Tussauds?

Prepare the tickets! Print Out ini yang bakal di tuker sama ticket asli di pintu masuk Madame Tussauds

Tiba di patung lilin, kami berkesempatan untuk berfoto dengan masing-masing idola kami. 

Ini patung lilinnya? Bukan dong! Ini turis-turis ajaib!

Sayang sekali, saya tidak menemukan sekelompok One Direction di sana. Sedih? Enggak juga sih. Karena ada ... Shah Rukh Khan! Yeahhh! (Haha) Saya penggemar beliau sejak SMP, loh. Menurut saya, dia salah satu aktor abadi yang makin tua makin hot and sexy (Haha).  

Hello, Mr. Charming!

"Anak-anak, salam sama Bapak ..."









       
   
    

 

   


        


    

        


Maafkan kami, yang tengil-tengil ini, pemirsa .... Kami adalah manusia-manusia usil nan tertib.

Malam pun semakin larut, saatnya kami kembali ke Hostel, menyiapkan tenaga untuk besok. 
MRT Station (Lupa ini ambil foto yang di mana)

#DAY-3 (Senin, 9 Mei 2016)

Bangun pagi (lagi) ??? 
Harus! Padahal, di kalau di Jakarta, bangun pagi adalah kegiatan terberat dibandingkan harus ngepel dan cuci baju. Ah! Baiklah, this is holiday! 
Nah, berawal dari penasaran, kami memutuskan untuk jalan-jalan ke Fort Canning Park. Ternyata di sana, banyak juga spot bersejarah dan areanya ditumbuhi pepohonan lebat yang Fresh!

          
Lumayan jauh juga jalan kaki. Sehat pokoknya! 
 





    


  
Mampir ke Orchard


 
Pajangan ini pajangan. Don't worry, i'm save. JANGAN DITIRU ya, kalo belum cukup umur.
 Setelah pagi-pagi mengelilingi taman yang luasssss itu dan mampir ke jalan Orchard, jadwal pun mengarahkan kami untuk segera berkemas untuk pindah ke Hostel terakhir, sebelum lanjut jalan-jalan ke area Marina Bay. Capek pindah-pindah hostel? Pasti. Tapi jadi banyak pengalamannya. Ada plus-minus lah. 

      

     Bohong, kalo bilang ini nggak enak! Pancake gulung, aneka rasa.

Kira-kira habis makan siang, kami menuju area Marina Bay! Welcome Back buat saya ... welcome buat teman-teman. Tempat ini mengalami perubahan. Karena ketika saya datang di tahun 2014, belum ada jembatan langsung antara Esplanade dan Patung Merlion







But, wait! Sebelum mereka berbahagia bernarsis ria, saya mengajak mereka untuk melewati lorong yang menuju ke Jembatan bersejarah di depan hotel Fullerton yang super exclusive. 



             









 

            
Nemu es krim ini ... nggak cukup cuma beli satu, ya guys! Mentang-mentang harganya cuma 1 dolar.
  


        


   

  

 




    

          
Ini loh, jagoan di balik foto-foto kami yang baguuuuus ... FARID!




 



   


  






Dua tahun yang lalu, saya gagal untuk naik ke Singapore Flyer. Maka tahun ini, saya tidak mau lagi melewatkan kesempatan. Setelah di browsing, waktu yang tepat untuk berada di sana titik teratas adalah jam 7 malam. Jadi, kalau mau antri, dari jam 6.30 yah. Karenaaaaa ... di jam ini, kami mendapatkan pergantian warna langit, dari sore ke malam hari. 
It was very amazing! 
Pengalaman yang luar biasa. Apalagi buat saya pribadi yang sangat mengagumi lampu-lampu kota di malam hari, di ketinggian, dan pergantian warna langit. 
It was perfect!




Serasa di rumah sendiri, isinya cuma ber 6

  


   


Hadiah untuk kami, hari ini.



 
Balik nak ... balik, ayo pulang.





                       
Minuman-minuman yang enak banget di perjalanan. Sebenernya air putih lenih sehat, tapi karena sukanya yang manis, yaa sudahlah ya. Hihiiii.


#DAY-4 (Selasa, 10 Mei 2016)
Liburan sudah habis. 
Saatnya kembali ke rutinitas kantor lagi. Tapi ... sebelum ke bandara (Penerbangan siang), kami jalan-jalan dulu mencari oleh-oleh. Ke Mustafa Center dan Bugis Street. Recommended karena murah dan bisa banget buat "borongan".



Sambil cari oleh-oleh, sambil foto-foto juga.

Laper banget? Lahap banget makan Bee Chen Hiang ... Hmm.

Come Back Home yaaaa ... sampai jumpa lagi, Singapura.

Sekian, review dari perjalanan "SINGAPORE" kami.
Semoga masih ada kesempatan untuk jalan BACKPACKER bareng lagi, ke negera tetangga lainnya.
Amiiin.
See you!