Sebuah Cerpen
Oleh : Neno
Rachmadana
Kata siapa, putus cinta adalah momen yang pas untuk bunuh
diri? Yang pasti, bunuh diri gara-gara putus cinta adalah hal terkonyol yang
bakal kamu tertawakan seumur hidup, jika ternyata kamu masih hidup. Lupain soal
bunuh diri, hidup ini indah banget! Buat saya, putus cinta adalah awal dari
takdir Tuhan. Ibarat kertas putih sebagai hidup, maka tinta adalah takdir.
Ketika kamu putus cinta, tinta tidak pernah mengotori kertas putih. Tinta
justru menawarkan cerita baru dalam hidup kamu.
Saya Dendi. Saya juga pernah putus cinta kok. Justru, dari
sanalah takdir saya berawal.
***
Kuliah saya selesai. Artinya saya diwisuda, lalu harus
meninggalkan Jogja, kemudian mengakhiri kemerdekaan sebagai mahasiswa dan
kembali terkurung dalam sangkar rumah beserta peraturan orangtua saya yang
kolot di kampung halaman. Penderitaan saya belum berhenti sampai di sana.
Angkat kaki dari Jogja, bukan cuma kemauan dari keluarga
semata, tapi juga Alda, pacar saya yang minta putus gara-gara dia nggak bersedia
menunggu saya mapan dan pacaran jarak jauh. What
the hell! Akhirnya… nggak punya kerjaan, nggak punya uang dan nggak punya
pacar. Hidup ini rasanya pahit!
Seminggu pertama, males banget keluar rumah! Setiap hari
cuma nonton tv. Tiap nonton ftv yang
ada adegan pacaran, selalu berhasil bikin saya tiba-tiba menendang kaki meja.
Minggu kedua, saat saya siap keluar rumah, meskipun cuma ke
warung kompleks, saya menyaksikan dua insan yang gandengan sambil tertawa mesra.
Yang bikin galau bukan gara-gara mereka gandengan, coy! Tapi mereka masih bocah 5 tahun! Sedangkan saya di umur 23, jomblo!
Rasanya mengenaskan!
Begitu terus hidup pahit saya selama satu bulan. Malas
keluar rumah, malas nonton tv, cuma
bengong di kamar, main gitar nggak jelas sambil nulis-nulis puisi. Orangtua saya
akhirnya ngamuk, mengira saya nggak berusaha cari kerja! Cari kerja susah, man! Puluhan CV sudah saya sebar sejak
hari pertama saya menginjakkan kaki lagi di ibukota! Tapi sampai hari ini,
belum juga ada panggilan. Duit jajan juga nggak pernah lagi dikasih sama bokap.
Terus saya harus apa? Salto?! Kayang?! Ya
kali!!
***
Reta, sepupu saya yang usianya 2 tahun lebih tua, datang
dari Medan. Dia minta ditemani untuk berkeliling Jogja.
“Mau ngapain sih, emangnya?” saya enggan menjawab ajakannya.
“Aku harus survey kopi, untuk acara kantorku yang mau
kedatangan tamu dari bos-bos di seluruh Asia.” jawabnya, mengambil posisi duduk
di atas meja bukuku.
“Kenapa harus kopi? Kenapa nggak teh atau susu?” saya masih
ogah-ogahan menyambut, seraya memangku gitar.
“Ownernya minta
kopi. Bukan teh, apalagi susu. Memangnya kau pikir warung?!” Dia melemparku
dengan buku. Secepat mungkin kuselamatkan gitarku dari serangan itu.
“Kenapa harus aku?” Saya masih bersikeras enggan, mengiyakan
ajakannya.
Dia bergegas mengambil buku lainnya, dua sekaligus.
“Kenapa harus Jogja?” Saya pun sewot, seraya bangkit dari
kasur.
Dia terdiam, lalu membatalkan ayunan dua buku tebal milikku,
lantas meletakkannya sedikit membanting.
“Nah, nampaknya tau aku, dimana inti masalah kau.” Dia
memicingkan matanya, memandangku penuh curiga.
Saya kembali duduk di kasur, mulai salah tingkah.
“Bah! Mau sampai
kapan kau menghindari masa lalu? Anggaplah mantan kau tu sudah mati dia
dicabik-cabik harimau. Kudoakan, pokoknya.” Dia mendadak emosi, mengingat
perlakuan semena-mena Alda yang sering saya ceritakan padanya. “Dengar Den, kau ini
sarjana. Muka kau juga nggak buruk-buruk kali. Ngapain kau cuma ngurung diri di
rumah. Masih banyak bidadari cantik di luar sana yang bisa kau pacari, supaya
kau juga semangat cari uang. Kalau cuma kek gini aja hidup kau, main gitar,
salto-salto, nggak usah aja kau hidup. Bongak kau.” Dia mendadak mencaci maki.
Kali ini, kata-katanya membuat saya berpikir lebih jauh.
“Ah, padahal tinggal bawa badan aja, lama kali kau mikir.
Kubilang langsung sama om dan tante, nggak perlu banyak cakap kau nanti. Antar
saja aku ke Jogja, titik.” Dia langsung beranjak dari kamarku, mengadu pada
orangtuaku.
Pasrah, akhirnya kami pun berangkat ke kota pendidikan,
pagi-pagi. Hingga sore, saya hanya menjadi penonton kesibukannya yang hilir
mudik menelepon, meriset dan ngobrol dengan orang-orang di sekitaran hotel.
“Aku bosan, cuma di hotel.” Keluhku, yang dari pagi hanya
memandangi kolam renang hotel dan tidur-tiduran.
“Cocok! Ayo bangun, kita ngopi.” Reta langsung merapikan
laptopnya.
Saya mengantarkan Reta ke alamat yang didapatnya. Tentu
saja, saya tahu alamat itu, jalan kaliurang. Dulu, setiap hari saya pasti
melewati. Kami pun mengunjungi sebuah café khusus kopi.
Saya baru tahu, ada kedai kopi modern ini di sini. Saya suka
tempatnya. Tidak berisik, tidak juga sunyi. Alunan instrumental mengalun di
seluruh sisi ruangan dengan volume yang tidak begitu besar. Duduk di meja
pojokan, sofa, juga dekat dengan rak buku, saya mencari posisi ternyaman supaya
betah menunggu Reta menyelesaikan tugasnya. Memang dasar sepupuku yang paling
supel, dia begitu cepat akrab dengan orang-orang baru, khususnya sang peracik
kopinya.
Seorang waiter menyuguhkan secangkir kopi di meja. Saya yang
selama ini ‘biasa-biasa’ saja terhadap kopi, hanya menatap cangkir yang
diletakkan bergandengan bersama segelas air putih dan cokelat batang.
“Kalo nggak suka kopinya, cokelatnya boleh dihabisin, mas.”
Kata si pengantar, berlalu pergi.
Saya sejenak melempar pandang ke sekeliling orang-orang,
yang berdialog bersama lawan bicara, bercanda bersama kelompok, menikmati kopi
dan … menikmati waktu. Mata ini tiba-tiba berhenti pada sosok di pojok lain
ruangan ini. Beberapa kali, terhalang pandangan oleh sekelompok remaja yang
menjadi jarak kami. Adalah seorang perempuan berambut lurus yang diikat kuda.
Duduk sendiri, bertemankan secangkir kopi dan sehelai kertas bersama pena di
tangan kanannya.
Saya tak mampu mengalihkan sepasang bola mata ini darinya.
Memperhatikannya menangkup cangkir lalu menikmati aroma kopi sebelum menyeruput
ke dalam mulut, melalui bibir mungilnya yang merekah setelah merasakan bulir
kopi menyentuh indera pengecapnya.
Entah kenapa, saya latah meraih cangkir kopi di hadapan
saya, sambil terus menatap lurus ke depan. Namun, seketika khalayan saya bubar
tak beraturan, ketikan satu sentuhan kopi hangat, menyentuh lidah saya.
Perhatian saya semakin teralihkan dengan wangi yang memendar di indera
penciuman. Saya menatap kopi di tangan, lantas bingung. Namun, mencicipi sekali
lagi, memastikan bahwa tidak ada sebutin pemanis apapun yang diletakkan di
dalamnya. Kopi ini terasa hambar pada umumnya, namun rasa manis dan asam seolah
begitu bersahabat di kecapan terakhir. Wangi pula. Very great coffee!
Setelah sekian menit terpana dengan rasa kopi, saya kembali
menatap sosok di seberang yang kini tenggelam dalam kesibukan, berkutat dengan
kertas dan pena. Sekarang, saya mampu menikmati keduanya. Memandang lukisan
cantik, sambil menyuruput kopi nikmat di tangan.
Saat Reta mengajak kembali ke hotel, saya berniat menanyakan
kopi apa yang tadi disuguhkan, pada waiter. Namun, pertanyaan yang keluar
justru, “Mas, perempuan itu siapa?” sambil melirik punggung gadis yang sudah
pergi meninggalkan café.
Si waiter hanya tersenyum menggoda, lalu melengos pergi,
melayani pesanan lain. Pupuslah harapan untuk bertemu lagi dengannya.
“Ke sini aja mas, setiap hari, dari jam 8 malam. Dia pasti
duduk di situ.” Sahut sang peracik kopi, yang muncul bersama Reta dari arah
dapur.
***
Siang, saya sudah diajak Reta berpindah-pindah kedai.
Menikmati kopi dari café ke café.
“Kulihat kau belum mengeluh soal kopi dari kemarin. Mulai
suka kopi, kau?” tanya Reta, yang menampilkan logat bataknya hanya dengan
keluarga, termasuk saya.
Saya tidak punya jawaban, hanya mengangkat bahu. Dalam hati
ingin bilang “Sepertinya, iya.”
Jam 7 malam, saya sudah siap, menunggu Reta memberikan
alamat lokasi lainnya lagi untuk didatangi. Namun Reta malah mengajakku ke
kedai kopi kemarin.
“Kemarin aku sudah janji sama peracik kopinya untuk coba
kopi yang baru datang.” Reta beralasan.
Saya kan hanya guide
dan asistennya, jadi saya menurut saja.
Tiba di café, kami disambut riang oleh karyawan dan si
peracik kopi.
“Saya mau kopi yang kemarin.” Pesanku, langsung tanpa basa-basi,
sebelum duduk.
“Kemarin mas minum kopi apa?” Tanya si peracik kopi, Jimmy.
“Nah…itu dia. Saya lupa Tanya, kemarin kopi apa. Tapi saya
masih inget banget rasanya. Manis dan asem, yang bersahabat.” Celotehku.
Jimmy dan reta menatapku heran, namun tertawa kemudian.
“Kalo gitu, coba cium dulu, biji kopinya. Mungkin kenal…”
Jimmy langsung menyodorkan sederet toples berisi biji-biji kopi.
Begitu membuka tutupnya, hidungku mencoba mengenali
wangi-wangi yang nikmat, nyaris sama seperti kemarin. Entah, apa yang terjadi
pada inderaku, rasanya seperti sakau, seperti candu, seperti … jatuh cinta. Aku
begitu menyukai aroma biji kopi.
Dari tujuh toples, saya memilih tiga toples yang wanginya
mirip kopi yang kunikmati kemarin.
“Sari Manih, Kintamani dan Bajawa.” Jimmy mengenalkan
nama-nama kopi tersebut.
“Diseduh dulu aja, biar makin yakin.” Goda Reta.
“Mau liat caranya, atau tunggu di meja, mas?” tawar Jimmy.
“Saya mau liat cara bikinnya deh.” Putusku.
Jimmy sigap, meracik tiga kopi itu satu persatu. Mulai dari
menghancurkan biji kopinya menjadi serbuk, menyaringnya, hingga menuang
hasilnya di depanku. Menunggu tetesan kopi yang jatuh di dalam cangkit, membuat
jantungku berdegup kencang, tak sabar menemukan kenikmatan kopi kemarin.
Konsenterasinya seolah penuh, memperhatikan genangan air
cokelat kehitaman yang aromanya tengah menusuk hidungku. Mencicipinya beberapa
detik, saya menemukan sensasi asam yang pekat menggelitik. Ini enak, tapi bukan
ini yang saya cari.
“Itu Sari Manih dari Solok.” kata Jimmy. Saya menggeleng.
Jimmy kembali meracik biji kopi dan menyeduhkannya padaku.
Saya menemukan sensasi asam dan sedikit pedas di kecapan terakhir.
“Bajawa dari Flores.” Kata Jimmy.
“Enak. Tapi bukan ini.” Sangkalku, lantas menggeleng.
Reta yang duduk di sebelahku, menatapku was-was.
Jimmy menyeduhkan pilihan saya yang terakhir. Saya menemukan
rasa asam dan manis yang pas, namun tidak sepekat kemarin.
“Kintamani dari Bali.” Kata Jimmy. Sayangnya, saya
menggeleng lagi.
“Makanya, lain kali kalo kamu jatuh cinta sama sesuatu,
cepat dikejar. Jangan ditunda. Susah kan, nyarinya.” Ujar Reta, seraya
melanjutkan kopi yang tadi kuminum sebagai tester.
Seseorang baru saja masuk, langsung berdiri di sebelahku.
“Sudah datang?” tanya suara perempuan itu, membuatku
menoleh.
Jimmy memberikan toples berisi biji kopi, padanya. Gadis itu
membuka tutupnya dan mencium aromanya. Saya terkesima menatap wajahnya yang
ternyata semakin cantik dari jarak dekat. Dia menutup toples itu, lalu
tersenyum dan memamerkan lesung pipit yang mempesona. What a beautiful girl!
“Mbak Kina, kenalin ini Reta dari Medan. Dia lagi survey
kopi untuk event kantornya.” Kata Jimmy.
Saya semakin penasaran pada sosok bidadari ini.
Reta menjabat tangan perempuan itu dengan mantap. “Kemarin
saya mau kenalan, tapi Mba keliatan sibuk. Jadi saya ngga berani mengganggu.” Reta
mencoba basa-basi.
“Oh, sorry. Iya
kemarin lagi agak-agak sibuk. Tapi sekarang sudah free. Apa yang bisa saya
bantu?” tanyanya.
Reta dan Jimmy menjelaskan tujuan kedatangan kami, dan gadis
bernama Kina itu sangat ramah menyambut antusias kami jauh-jauh dari Medan dan
Jakarta.
“Saya bawa sepupu saya dari Jakarta supaya bisa jadi tour guide. Tapi malah dia yang jadi
penasaran sama kopi.” Celoteh Reta.
Kina spontan menatapku. “Jadi mas mau cari kopi apa?” tanyanya.
“Kopi nang-kau dengan bismillah.” Celetuk Jimmy.
“Jimmy, mau potong gaji atau potong uang makan?” Kina
melirik Jimmy, jutek.
Kami tertawa bersama. Ruangan ini menghangat, begitu
bersahabat.
“Ini kopi favorit saya. Kemarin stoknya habis, makanya baru
datang lagi tadi pagi. Buatkan satu untuk mas …” Kina kembali menatapku, sambil
menunjuk toples yang masih digenggamnya.
“Dendi.” Saya berjabat tangan dengannya.
Sambil menunggu Jimmy meracik, Reta dan Kina berdiskusi soal
kopi kesukaan masa kini. Saya yang mendengarkan, semakin mengagumi sosok Kina
yang memahami seluk beluk kopi nusantara. Ternyata dia juga pandai meracik
kopi. Kenapa baru terpikir sekarang, Kina adalah sang pemilik café!
Jimmy meletakkan cangkir kopi ke hadapanku, spontan
membuatku menoleh. Indera penciumanku terpanggil, mengenali aromanya. Setelah
mengecapnya, saya tidak mampu membohongi diri saya sendiri bahwa inilah kopi
yang saya cari.
“Nah, ini dia nih.” Saya girang, membuat Jimmy dan Reta
tertawa.
“Ini kopi kerinci, fresh dari kaki gunung.” Kata Kina. “Ngga
semua orang suka pesan kopi, karena harganya yang paling tinggi di antara
kopi-kopi lain di kedai ini., Tapi ini kesukaan saya.”
“Kalian punya kesukaan yang sama. Ehm.” Goda Jimmy. “Kemarin Mas Dendi juga nanyain Mba Kina, loh.”
Bongkarnya. “Ini Kopi Jodoh, namanya.”
Kina menatapku tersipu.
“Cocok! Mba Kina aja yang ikut ke Medan. Sekalian promosi
café.” Tawar Reta.
“Asik, dapet job. Jangan ditolak Mba. Lagian kan Mba Kina
sudah lama ngga jalan-jalan ke luar kota. Bisa sambil keliling perkebunan kopi di Sumatera, café ini biar anak-anak
yang urus.” Jimmy mensupport.
“Ide bagus. Saya juga ikut kok, sekalian mau belajar bikin kopi sama mba
Kina.” Saya menyeletuk.
“Panggil nama aja.” Lantas Kina mengangguk sepakat.
Aku tersenyum. Hari ini istimewa. Dapat kopi ciamik, dapat pula
perempuan cantik. What a great day!
“Nggak sia-sia kau kubawa ke sini.” Bisik Reta di telingaku.