Lagi.
Gelak tawa tiba-tiba
terhenti, saat teringat kepingan-kepingan kenangan yang tidak bisa kembali
meski ditukar dengan nominal uang. Sighh!
Bodoh.
Seperti merasa
terombang-ambing, saat bayangan memori itu melintas begitu saja. Ada tawa
bahagia, kesombongan manusia, dan senyum bijaksana yang tidak bisa dihapus
begitu saja dari ingatanku. Maaf Yah...
Masih saja.
Aku masih bisa
merasakan Ayahku duduk tepat di hadapanku. Bertopang kaki dengan gayanya yang
kadang sombong. mungkin itu untuk menjaga wibawanya. kadang juga dengan gelak
tawanya yang membahana kemana-mana. mungkin juga itu untuk memberitahukan ke
semua orang bahwa dia bisa bersahabat dengan anak perempuannya yang jarang bisa
dilakukan Ayah lainnya.
Tadi sore, aku duduk
di pojok cafe, memesan sepotong kue dan secangkir kopi yang cukup mahal untuk
ukuran dompet di akhir bulan seperti ini. Masih sangat terasa, dulu... saat
Ayah masih ada, berdiri di balik bayangannya, aku ikut sombong. kuakui itu.
Sering. Aku sering
kali makan makanan enak dan tidak murah, tak pernah khawatir bagaimana cara
membayarnya. Karena ada Ayah. Aku bisa keluar masuk hotel berbintang, tak
pernah ragu bagaimana cara melunasinya. Aku bisa menunjuk barang yang aku suka
di pusat perbelanjaan dengan brand ternama di jaman itu, semuda menjentikkan
ujung jemari untuk mendapatkannya.
Lihat.
Kini saat Ayah pergi
ke surga, meninggalkan aku dan keluarga. Aku berusaha berdiri sendiri. kadang
berusaha mengerti bagaimana rasanya menjadi dia. ternyata tidak semudah yang
aku bayangkan.
Aku masih anak manja
kesayangannya. Tapi mungkin itu dulu. sekarang, aku akan bilang "Aku
pernah jadi anak manja Ayahku".
Ya, tadi sore, aku
memutar memori itu, tanpa Ayah. Sendiri aja. membayar semuanya sendirian. dan
duduk sendirian. Rasanya, aku ingin bilang ratusan kalimat padanya... seperti,
"Ayah, aku sedang belajar menjadi dirimu," atau "Ayah, dulu aku
selalu ada di balik bayang-bayangmu. Sekarang aku bisa sombong dengan caraku
sendiri," atau bisa juga "Ayah, lihat aku sekarang. aku bisa dan
berani duduk sendirian di cafe, membeli cemilan mahal yang dulu Ayah
tertawakan." hhh... ya.
Sudah, itu saja.
Nanti aku buatkan
lagi puisi atau cerita bagus buat Ayah.
Berikan saja restumu
agar aku bisa berdiri tegak dan gagah sepertimu.
Ayah selalu tahu, I
love you Dad.
Anakmu,
NENO