Menyiksa batin dalam dekap yang membelenggu.
Saya tahu betul rasa ini … rasa ragu.
Dan saya sadar betul, ini mengganggu.
Lima tahun silam, sejak saya ketemu kamu.
Yang selalu saya tegaskan dalam diri saya dan kamu,
Saya memang melirik dan menggodamu,
Meski hanya dengan kata dan sebait lagu.
Tapi, rasa sakit yang kamu berikan selalu menjadi guru,
Yang memerintah saya untuk mundur dua langkah setelah satu langkah maju.
Ya, mundurku lebih banyak dari majuku.
Hingga tiga tahun lalu, kamu benar-benar menyentak saya.
Membuat rasa yang hampir tumbuh, layu sebelum berkembang.
Yang harus kamu tahu,
Sejak lima tahun lalu, saya ketemu kamu..
Saya tidak pernah mencintai kamu.
Rindu dan cinta yang pernah kututur, tidak pernah ada. Semuanya semu!
Sampai detik ini, meski dunia tahu kita sepasang kekasih penuh syahdu,
Jujur, saya tidak pernah mencintai kamu.
Kamu ingat, terakhir kali kamu menyakiti hati saya hanya karena perempuan itu, di situ saya menguburkan benih harapan saya ke dalam lapisan bumi yang paling bawah.
Saya tidak tahu bagaimana saya bisa memulai sandiwara ini di depanmu.
Saya berusaha untuk jatuh cinta sama kamu.
Berjuta cara dan keyakinan, masih tidak sanggup membuat saya luluh.
Saya pun, tidak pernah melihat kesungguhanmu untuk meluluhkan hati ini.
Kamu sibuk dengan konsep “investasi” kebaikan yang kamu anggap sebagai benteng kemanusiaan.
Konsep itu berbanding terbalik dan melawan arah logikaku.
Konsep hidupmu yang berusaha baik pada semua orang, secara sadar atau tidak, itu sudah kamu salah artikan.
Kamu tepuk rata seluruh kebaikan yang kamu bisa, apalagi meladeni semua perempuan, tanpa memikirkan perasaan seseorang yang berdiri di sisi istimewamu.
Sikap investasi yang kamu sebar ke seluruh perempuan itu, salah.
Tapi kamu merasa semua yang kamu lakukan adalah benar.
Kamu tidak sanggup bersikap terbuka dan jujur untuk saya, demi kita.
Kamu selalu bersikukuh menyamaratakan saya dengan perempuan-perempuanmu yang (maaf) tolol itu.
Bagaimana bisa kamu mensejajarkan saya dengan mereka.
Sedangkan kamu tidak dengan benar-benar mengenal saya.
Kamu mengaku-aku sangat mengerti semua perempuan.
Jelas, saya akan menertawakanmu sekeras-kerasnya.
Saya cuma mau bilang sekali lagi –sudah sering saya bilang-, “jangan pernah mensejajarkan saya dengan para mantanmu”.
Kamu tidak pernah benar-benar berani untuk tahu siapa dan bagaimana saya.
Kamu sibuk dengan egomu.
Bertingkah bahwa hanya kamulah orang yang paling mengerti isi dunia dan melumpuhkan pemikiran saya.
Hhh, selama ini saya diam bukan berarti saya kalah atas segala argumenmu.
Selama ini saya belajar mendengarkan dan memahami tentang kamu.
Saya lah yang mengalah. Sadarlah!
Saya jemu.
Semakin kamu bersikeras bahwa kamu yang bersabar dan mengalah, sadarilah bahwa saya tengah meredam ego saya untuk tidak membantahmu, membuat perdebatan lebih panjang.
Terlalu banyak luka yang kamu berikan untuk saya.
Luka yang sudah pasti melekat kuat di memori saya sepanjang hidup.
Cukup. Saya jenuh.
Kamu bukan siapa-siapa dalam hidup saya, namun telah berkali-kali lancang mengaduk segala rehabilitasi yang sudah saya bangun dan saya pertahankan untuk menjadi perempuan ‘kokoh’ seperti sekarang.
Saya bosan bersandiwara.
Saya pun bingung bagaimana cara saya agar bisa membanggakanmu.
Belum pernah saya menemukan titik terbaik untuk bisa menyanjungmu, bahkan mempertahankanmu.
Cinta bukan hanya sekedar kata.
Beribu kali kamu ucapkan ‘cinta dan sayang’ ke saya, tapi kamu tidak pernah membuktikannya sama sekali.
Nol besar. Tidak ada artinya buat saya.
Bahkan, yang saya pahami hingga kini... Bicaramu lebih banyak daripada buktimu.
Bicaramu hanya angan belaka, yang terlalu tinggi sekaligus tak pernah nampak dalam genggaman.
Itulah sebagian kecil alasan -dalam batin- saya selalu khawatir saat kamu mengucap janji.
Saya tidak bisa menggantungkan mimpi saya bersama kamu.
Saya takut, bahwa bermimpi bersamamu tidak mengarah pada wujudnya.
Sekali lagi, karena bicaramu lebih banyak daripada buktimu.
Bahkan, yang saya pahami hingga kini... Bicaramu lebih banyak daripada buktimu.
Bicaramu hanya angan belaka, yang terlalu tinggi sekaligus tak pernah nampak dalam genggaman.
Itulah sebagian kecil alasan -dalam batin- saya selalu khawatir saat kamu mengucap janji.
Saya tidak bisa menggantungkan mimpi saya bersama kamu.
Saya takut, bahwa bermimpi bersamamu tidak mengarah pada wujudnya.
Sekali lagi, karena bicaramu lebih banyak daripada buktimu.
Saya tidak bisa lebih banyak lagi membiarkan diri saya terluka hanya karena laki-laki seperti kamu.
Saya juga tidak mau membuang waktu saya lebih banyak lagi untuk bermain omong kosong dengan semua drama kita selama ini.
Berkali-kali saya menjauh, untuk mencari dimana rindu itu berada dan mengadu.
Yang saya temukan hanyalah sendu.
Bayanganmu tidak melintas di benakku.
Hanya ada iba dan memori biasa tanpa makna bertalu-talu.
Seperti harapan yang sekedar menjadi tandu.
Pembawa hubungan tanpa jiwa, tanpa rindu, tanpa ujung.
Sebenarnya, sejak saya ketemu kamu lima tahun lalu.
Saya tidak pernah menunggu, tidak juga mencari tambatan hati.
Saya memberikan kamu ruang untuk masuk dalam kehidupan saya, memberikan kesempatan –berkali kali- untuk kamu membuktikan bahwa cintamu untuk saya, benar adanya.
Ternyata sangkaan saya salah besar. Cinta itu tidak pernah ada.
Saya biarkan kamu masuk dalam dunia dan kehidupan sosial saya, tapi tidak bisa kamu lakukan sebaliknya.
Saya tahu, kamu hanya berpura-pura mencintai saya.
Yang kamu perlu tahu, selama enam tahun tahun terakhir, saya membiarkan ruang hati saya kosong.
Sampai kini pun, hati saya masih ingin kosong dan menikmati kesendirian dalam damai.
Saya menjaga hati bukan untuk kamu, tapi untuk saya sendiri.
Saya tidak tahu, apakah hubungan ini harus diteruskan, atau selesai sampai di sini.
Mungkin, saya bukanlah perempuan impian yang kamu cari. Begitupun sebaliknya.
Bukan maksud saya menyakiti hatimu, justru saya sadar bahwa saya lah yang terjun dalam jurangmu untuk disakiti.
Sama sekali saya tidak pernah menaruh benci, meski entah sudah berapa hitungan saya tahu kamu berbohong dan memanfaatkan kepercayaan saya.
Saya tidak pernah membencimu, sama halnya ketika saya tidak pernah benar-benar mencintai kamu.
Saya tidak mau membohongi diri saya sendiri lagi.
Selama ini, saya hanya mencari cara bagaimana bertahan berada di sampingmu.
Hingga, sakit yang terus saja saya tahan, tak tahu lagi harus saya apakan.
Sesuai kesepakatan yang pernah kita buat, jika lelah dalam hubungan ini, maka katakan sejujurnya.
Ya inilah saatnya.
Sayang… saya lelah.
Irama kakimu tidak sama dengan kakiku.
Polamu tidak sanggup melebur dengan otakku.
Kita begitu sulit beriringan.
Saya tidak mau lagi berjalan dengan kamu dan pemikiranmu yang masih terjebak dalam konsepmu sendiri.
Teruskan saja apapun yang menurutmu benar.
Saya akan menutup mata saja, seperti yang sering terpaksa saya lakukan, seperti biasa.
Kalau sekarang kamu sudah tahu bahwa saya tidak pernah mencintai kamu..
Lantas apa yang akan kamu perbuat?
Apakah kamu akan berubah, lalu berusaha membuat saya jatuh cinta?
Saya benar-benar meragu.
Maafkan saya.
Jakarta, 3 Mei 2016.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar