Aku tidak begitu jelas mengingat bahkan menyadari suara Ayahku
yang merasuk ke dalam telingaku, mengumandangkan adzan untuk menyambut
kelahiranku ke dunia.
Yang aku tahu, dia selalu mengajarkan aku tentang bagaimana cara
berjalan dan berlari di usiaku yang masih balita. Dia tersenyum menyambut
langkah kakiku yang masih belum terlalu kuat untuk menapaki kehidupan. Dia
selalu yakin padaku bahwa aku pasti bisa meretas lika-liku di masa yang kelak
datang.
Masih kuingat, dia memandikan aku saat usiaku bahkan belum genap
5 tahun. Sesekali menyuapiku makan dan mengajarkan aku bicara tentang kebaikan.
Aku masih ingat,
Dia mengantarkan aku masuk ke pendidikan di Taman kanak-kanak.
Dengan mobil tuanya, diantarkannya aku sampai di depan pagar sekolah, bahkan
sesekali dia ikut mengantarkan sampai ke depan kelas.
Tak kulihat raut lelah di wajahnya, sementara sesaat setelah
melihatku duduk manis bersama ibu guru, dia langsung berangkat menunaikan
pekerjaannya di kantor. Pulang pada sore hari, bahkan terkadang lembur dan baru
tiba di rumah saat malam telah larut.
Bulan demi bulan sampai tahun pun berganti,
Aku duduk di bangku sekolah dasar, dia mengajakku sarapan di
meja makan, memberiku uang saku untuk jajan di sekolah, dan mengantarkan aku
sampai di depan pintu bis sekolah. Dia mulai tak lagi mengantarkankanku dengan
mobil tuanya. Katanya, “Nanti Ayah bisa terlambat ke kantor.”
Dan di hari ini, aku menyadari maksudnya adalah “Belajarlah
mandiri, Nak.”
Sampai kemudian aku naik kelas di setiap tahunnya. PR apapun di
sekolah, sering kali disempatkannya untuk membantuku menyelesaikannya. Bahkan ketika
guru di sekolah memintaku untuk mengerjakan tugas yang diharuskan membeli bahan
di luar rumah, Ayah bersedia mengantarkanku, meskipun lelah dari sepulangnya
dia bekerja seharian di kantor.
Pernah di saat dia sakit pun, dia minta dipijat. Aku merasa
kesal dan dengan wajah merengut aku menekan-nekan punggungnya dengan jemariku.
Katanya, “Biar cepat sehat, Ayah ini dipijat kamu.”
Dan di hari ini, aku menyadari maksudnya adalah “Belajarlah
peduli dengan orangtua, Nak.”
Sampai aku masuk ke sekolah menengah pertama, Ayah mulai
mengantarkan aku ke pintu bis sekolah. Dia hanya melihatku dari pintu rumah,
sambil memasang sepatu, lalu menghabiskan kopinya di meja teras. Bahkan jika kemudian aku harus naik angkutan
umum sendirian, dia tidak akan mengantarkan aku pergi ke sekolah.
Hari terus berlalu, sampai kemudian aku merasa tak lagi
diperhatikan. Kasih sayang kedua orangtuaku kurasa mulai berkurang. Mulailah aku
berulah. Beberapa keusilan dan kenakalan kubuat bersama teman-temanku di
sekolah. Bahkan sampai aku dimarahi oleh pihak sekolah. Ayah muncul di sekolah,
berbicara dengan guru di jam makan siang. Saat melihatku, dia tidak memarahiku,
malah dia tersenyum.
Dan di hari ini aku tahu, bahwa apapun yang terjadi pada proses
kemandirianku, dia akan tetap selalu berada di belakangku untuk berjaga kala
tiba-tiba aku terjatuh dan berbuat salah. Dia tidak akan berkata apa-apa, hanya
mengulurkan tangan untuk bangkit dan berdiri. Agar aku bisa lebih kuat lagi
menghadapi kehidupan.
Di sekolah menengah atas, Ayah tak lagi menoleh padaku. Bahkan ketika
aku harus lebih sering naik angkutan umum, Karena tidak ada lagi fasilitas bis
sekolah untuk seragam putih abu-abu. Dia tidak akan mengantarkan aku. Dia tidak
lagi menawariku sarapan, malah tidak ada juga sarapan yang tersedia di atas
meja makan. Maka aku membuat susu dan menggoreng telor sendiri.
Di tahun kedua, kembali aku berbuat ulah bersama teman-teman
sekolahku. Seperti biasa, Ayah datang menghadapi guru bimbingan konseling atas
kelakukan isengku dan nilai-nilaiku yang anjlok, sementara sudah menjelang
akhir tingkat dan penjurusan.
Ayah tidak memarahiku di sekolah. Dia mengajakku duduk di rumah,
hanya mengeluarkan satu pertanyaan, “Mau jadi apa kamu?” sambil menonton tv. Dia
bahkan tidak tersenyum dan menoleh sedikitpun padaku.
Dan hari ini aku menyadari, bahwa “Seharusnya dari awal aku
sekolah, aku sudah punya tujuan yang pasti. Ayah dan Ibu ingin melihatku jadi ‘orang’.”
Waktu dan usia tidak bisa
ditunda, sampailah aku harus meneruskan sekolah dan mengambil gelar sarjanaku.
Pertama kali aku meminta untuk melanjutkan kuliah di Luar
Negeri. “Aku mau kuliah sastra, Yah.” Ayah terdiam lalu tertawa, “Jangan
bermimpi terlalu jauh. Jadi pegawai kantoran di sini saja kan cukup.”
Saat itu aku ingin marah, tapi hanya bisa menangis. Lalu, dia
memberiku tiket penerbangan ke Yogyakarta. Secara halus memintaku untuk kuliah
di sana. Aku pun menurut, sebagai baktiku pada orangtuaku.
Ayah mengantarkan aku ke bandara bersama ibu. Dia memelukku,
memberiku kekuatan untuk bisa berdiri, jatuh, bangkit dan berlari sendirian di
kota orang. Dia tidak menolah padaku lebih lama, hanya melihatku di kejauhan.
Tapi aku bisa merasakan kekhawatirannya dan detika dimana dia menahan airmata
agar tidak jatuh tumpah, di hadapanku.
Dan hari ini aku tahu, bahwa Ayah tidak mau aku pergi ke Negeri
Orang karena pastinya akan sangat sulit bagi Ayah untuk menemuiku, sementara
dia masih harus terus bekerja, dan menghemat biaya.
Sampai kemudian aku memberi kabar tentang kelulusanku menjadi
seorang sarjana. Ayah menyambutnya dengan kalimat, “Alhamdulillah.”
Tibalah kemudian aku mencari pekerjaan, belajar menjadi
sepertinya. Mencari nafkah untuk dimulai dari diriku sendiri dengan peluh dan
kerja kerasku sendiri. “Ternyata mencari pekerjaan itu tidak semudah yang kita
bayangkan. Dan untuk mendapatkan uang, kita harus bekerja lebih giat.”
Ayah bahkan tidak meminta sepeserpun, dia tersenyum melihatku
mulai tak lagi meminta uang saku padanya.
Lalu, tiba kudengar Ayah telah tiada, meninggalkanku yang siap
menjajaki tanah di dunia, mengecap pahit dan manis kehidupan, hatiku hancur.
Dear Ayah,
Maaf Ayah,
aku belum bisa membuatku bangga atas nafas dan langkahku di dunia. Aku belum bisa memberimu kebahagiaan yang dulu pernah kujanjikan pada diriku sendiri. Aku bahkan tidak sempat melihat dan memelukmu sebelum Ayah masuk ke dalam liang peristirahatan selamanya.
Aku sungguh minta maaf Ayah … Aku sayang Ayah.
aku belum bisa membuatku bangga atas nafas dan langkahku di dunia. Aku belum bisa memberimu kebahagiaan yang dulu pernah kujanjikan pada diriku sendiri. Aku bahkan tidak sempat melihat dan memelukmu sebelum Ayah masuk ke dalam liang peristirahatan selamanya.
Aku sungguh minta maaf Ayah … Aku sayang Ayah.
Kata orang, tugas seorang Ayah itu selesai ketika menikahkan
Putra-Putri nya di depan penghulu. Dimana Ayah akan menyerahkan Putri yang
disayangnya kepada pria yang kelak akan mengambil alih tanggung jawab atasnya.
Ayah, sayang sekali tugas mu yang terakhir padaku, tidak sempat kurasakan
seperti kedua kakakku sebelumnya. Tapi aku percaya, Ayah akan tetap selalu
menuntunku mendapatkan pria yang terbaik, yang luar biasa, seperti Ayah.
Terima Kasih, Ayahku tersayang.
Sayangku padamu, akan terjaga di sanubariku yang luas di
dasarnya.
Jaga diri Ayah baik-baik di surga, aku akan selalu berdoa
untukmu agar Ayah tetap mengingatku.
Selamat Jalan …
*Rest In Peace, Ayah (16 Juli 2012)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar