Sekilas Tentang Asal-usul Kerajinan Saung Seling Pada Masyarakat Dayak Suku Kenyah Leppu’ Maut Di Daerah (sungai bahau) Long Alango Kecamatan Bahau Hulu, Kabupaten Malinau
Kondisi Sosial Masyarakat
Ulu Bahau adalah sebutan populer untuk menyebut salah satu daerah perbatasan antara
Indonesia dan Malaysia di daerah Kecamatan Hulu Bahau, Kabupaten Malinau Propinsi Kalimantan Timur. Untuk
ke daerah ini ada dua moda transportasi yang bisa di gunakan yaitu dengan menggunakan
transportasi udara baik pesawat MAF ataupun Susi Air yang penerbangannya dari
Bandara RA. Besing di Kabupaten Malinau kemudian turun di Bandara Perintis di
Long Alango dengan jarak tempuh sekitar 35 Menit. Alternative lain menggunakan
jalur sungai dari Kabupaten Bulungan kemudian menyusuri sungai Kayan
menggunakan Long Boat, setelah itu masuk ke cabang sungai Bahau yang terletak
di Kecamatan Long Pujungan setelah dari Long Pujungan mudik lagi ke arah hulu
barulah tiba di Long Alango, jarak tempuh kurang lebih 2 hari 2 malam jika
kondisi air sedang bagus yaitu tidak banjir dan tidak turun.
Long Alango merupakan wilayah
kecamatan, dan daerah ini
juga merupakan satu kawasan wilayah adat suku Kenyah yang dipimpin oleh seorang
Kepala Adat Besar Ulu Bahau, yaitu
Bpk. Anyeq Apui. Ada enam desa di bentangan Sungai Bahau yang masuk
dalam wilayah adat Ulu Bahau, yaitu desa Apau Ping, Long Berini, Long Kemuat,
Long Alango (ibukota Kecamatan), Long Tebulo dan Long Uli. Pada keenam desa
ini, umumnya dihuni oleh 4 (empat) sub etnik Kenyah yaitu Leppu’ Ke (Apau Ping dan Long Tebulo),
Leppu’ Ma’ut (Long Alango, Long Kemuat dan Long Berini) serta
Leppu’ Ndang dan Uma Lung (Long Uli);
Meskipun
dalam pergaulan sehari-hari masyarakat
yang berasal dari keturunan bangsawan (paren) maupun yang berasal dari
keturunan masyarakat biasa (panyin) dapat berbaur dan hidup berdampingan secara
egaliter, namun dalam penerapan budaya tertentu, masyarakat Kenyah di Ulu Bahau
masih sangat memperhatikan mana yang termasuk dalam keturunan bangsawan atau
bukan. Hal ini terlihat jelas dalam penelusuran kami tentang penggunaan Saung
Seling dalam kehidupan sehari-hari. Bagi masyarakat yang “merasa” dirinya bukan keturunan bangsawan, jangankan memakai,
membuatnya pun mereka merasa tak pantas. Selain terkena sangsi sosial juga akan terkena sangsi adat dari leluhur
yaitu parit’ atau bisa mendapat bala.
Kondisi
ini sesungguhnya amat baik, karena kita masih bisa menemui suatu fakta dimana
budaya setempat masih sangat diperhatikan dan diterapkan dalam tatanan
masyarakatnya. Namun pada sisi lain upaya
untuk mencapai tujuan Yayasan Bhakti Total Bagi Indonesia Lestari yaitu
melestarikan Saung Seling yang melibatkan sebanyak-banyaknya pengrajin, bisa
jadi mengalami kendala yang bersifat kultural. Ada dua hal penting sekaitan
hambatan kultural yang dimaksud yaitu, pertama, terbatasnya jumlah ibu-ibu yang
termasuk kategori keturunan bangsawan, jelas akan memperlambat tumbuh
berkembangnya kelompok pengrajin Saung Seling di daerah ini. Yang kedua, karena
Yayasan melestarikan Saung Seling, yang secara jelas diketahui sejak awal bahwa
ini hanya ‘milik’ kaum bangsawan, maka yayasan berpotensi dituduh
mengkotak-kotakkan masyarakat (memperkuat garis pemisah antara keturunan
bangsawan dengan masyarakat biasa) dan kegiatan kita dipandang hanya menguntung
para keturunan bangsawan saja. Karena hanya merekalah yang akan menikmati
keuntungan ekonomi dari Saung Seling ini nantinya.
Menyikapi
kondisi ini, kami banyak melakukan konsultasi baik dengan masyarakat yang termasuk
kategori keturunan bangsawan, dengan Ketua Adat (Kepala Adat Kampung) maupun
dengan Kepala Adat Besar Kecamatan Bahau Ulu. Inti konsultasi yang kami lakukan
menyangkut dua hal, pertama, kami memahami bahwa yang berhak memakai Saung
Seling adalah keturunan bangsawan. Yang dimaksud memakai disini adalah memasang
di ruang tamu rumahnya sebagai perhiasan ataupun menggunakannya sebagai payung
di kala berjalan di luar rumah. Terkait dengan rencana yayasan untuk
melestarikan Saung Seling, yang berarti juga melibatkan sebanyak-banyak anggota
masyarakat untuk membuat kerajinan tersebut, maka pertanyaannya adalah:
bolehkah kalau warga yang bukan berasal dari keturunan bangsawan untuk membuat
Saung Seling, bukan untuk tujuan dipakai, tetapi untuk tujuan dijual (kepada
yayasan)? Dalam konteks ini tujuan pembuatannya adalah semata untuk
meningkatkan ekonomi keluarga.
Kemudian
hal kedua yang kami konsultasikan adalah, jika seandainya diperbolehkan, adakah
syarat atau ritual tertentu yang harus dibuat agar si warga non keturunan tadi
tidak mengalami musibah (lemah bulu, parip dalam bahasa Kenyah)? Jika ada, apa
dan bagaimana hal tersebut dibuat? Gambaran lemah bulu yang dimaksud disini
misalnya, cepat meninggal, sakit yang berkepanjangan, cacatnya anggota keluarga
dan sebagainya.
Ternyata
hasil konsultasi kami menunjukkan pendapat yang berbeda. Bagi warga keturunan
bangsawan, ketua adat ataupun Kepala Adat Besar Ulu Bahau berpendapat bahwa hal
tersebut tidak ada masalah. Silakan bagi siapa saja yang ingin belajar atau pun
membuat Saung Seling baik untuk tujuan dijual. Hanya saja, karena ketentuan ini
sudah berlaku sejak turun temurun, maka warga non keturunan bangsawan tetap
merasa enggan untuk membuatnya sendiri, karena mereka meyakini bahwa apabila
warga non keturunan yang membuat Saung Seling maka akan ada ‘tulah’ yang menimpa diri dan keluarganya.
Menurut
Bapak Aran Lenggang, Ketua Adat di Apau Ping, untuk menghindari tulah dalam
pembuatan Saung Seling bisa dilakukan dengan melaksanakan ritual tertentu yang
disebut Melewa yaitu semacam upacara
untuk meminta izin kepada sang ‘penguasa’ yang ‘memberikan’
Saung Seling kepada warga sejak zaman nenek moyang dulu. Upacara ini dilakukan
dengan mengoleskan darah ayam di bagian punggung tangan baik di sebelah kiri
maupun di sebelah kanan sebagai tanda meminta izin kepada ‘sang pemilik’. Hal yang agak berbeda dengan
yang dituturkan oleh Kepala Adat Besar Ulu Bahau, bahwa prosesi yang harus
ditempuh oleh warga yang ingin membuat Saung Seling untuk pertama kalinya
adalah dengan memasangkan sebuah gelang yang terbuat dari lempeng kuningan yang
biasa disebut ‘Sulau Jangin’
pada salah satu tangannya. Dengan ini maka yang bersangkutan menjadi ‘aman’ untuk membuat Saung Seling.
Legenda Munculnya Saung Seling
Karena
Saung Seling ini memiliki nilai kultural yang sangat sakral bagi masyarakat
Kenyah di Ulu Bahau, kami mencoba menelusuri bagaimana cerita munculnya Saung
Seling dan mengapa Saung tersebut hanya boleh dipakai oleh warga keturunan
bangsawan saja. Selain itu hal lain yang ingin kami ketahui adalah mengapa
motif utama di Saung Seling selalu bergambar manusia, sementara kita ketahui
bahwa suku Kenyah sangat kaya akan aneka motif anyaman.
Menurut
Ketua Adat Apau Ping, Bapak Aran Lenggang, legenda kemunculan Saung Seling ini adalah
demikian:
Adalah
warga Leppu’ Ke saat menuba[1] di Sungai
Bahau, tepatnya di Kuala Berau. Mereka menggunakan batang tuba dan dicampur
dengan lombok yang ditumbuk. Banyak ikan mabuk karenanya dan masyarakat tinggal
memungut dan memasukkannya ke dalam perahu. Tiba-tiba mereka melihat seorang
tua muncul dari dalam air, kemudian duduk di atas batu besar dengan menggunakan
Saung Seling yang lengkap dengan bulu burung enggang (tebengang). Orang tua itu
kemudian menegur masyarakat yang ikut menuba tersebut dengan mengatakan: “mengapa kalian menggunakan
lombok (cabe), anak cucu saya kepedasan matanya. Lain kali jangan lagi kalian
nuba dengan menggunakan lombok ya”
Setelah berkata demikian, orang tua tersebut kemudian mencopot Saung Seling
yang dipakainya dengan memberikan kepada salah seorang warga dengan memberikan
pesan, bahwa Saung Seling tersebut hanya bisa dipakai oleh warga yang keturunan
bangsawan saja dan setelah itu orang tua tersebut kembali lagi ke dalam air.
Adapun
legenda munculnya Saung Seling menurut Kepala Adat Besar Bahau Ulu, Anyeq Apui,
kemuculan Saung Seling di kalangan Kenyah Leppu’
Ma’ut adalah demikian:
Ada
sepasang suami istri (bangsawan?) yang memiliki anak gadis yang sangat cantik.
Anak gadis ini kemudian banyak dilamar oleh para pemuda, baik dari kalangan
masyarakat biasa (panyin) maupun yang berasal dari kalangan bangsawan (paren).
Namun sayangnya semua lamaran para pemuda ini ditolak oleh sang gadis. Kedua
orang tuanya heran dan marah kepada anak gadisnya, apa sebenarnya yang ia cari?
Orang tuanya sempat menanyakan kepada anaknya, siapakah yang sesungguhnya
diinginkan anaknya sebagai suaminya kelak. Dalam marahnya, sang ayah menanyakan
kepada anaknya: “apakah kau
ingin menikah dengan Jalung Bali Jelau?”
Pertanyaan ini sesungguhnya tidak masuk akal, karena Jalung Bali Jelau ini
adalah nama mahluk gaib penguasa (raja) air.
Namun,
konon pertanyaan sang ayah ini didengar oleh sang raja air, Jalung Bali Jelau
dari tempatnya. Maka dengan cara sembunyi-sembunyi sang raja air menjelma
menjadi manusia dimalam hari dan datang meniduri sang gadis. Sebelum fajar, dia
berubah ke wujudnya semula dan kembali ke dalam air. Demikianlah singkat cerita
sang gadis menjadi hamil. Melihat anaknya hamil, maka terkejutlah kedua orang
tuanya, karena merasa tak pernah tahu kalau anaknya memiliki pacar. Siapa
gerangan yang menghamilinya?
Setelah
didesak-desak sedemikian rupa, walau awalnya diam seribu bahasa, namun akhirnya
anaknya berterus terang bahwa yang menghamilinya adalah orang yang dikatakan
ayahnya dulu, yaitu Jalung Bali Jelau. Mendengar penuturan anaknya, ayahnya tak
lantas percaya. Untuk membuktikannya, sang ayah melakukan pengintaian. Betul
saja, ketika malam telah larut, dilihatnyalah Jalung Bali Jelau memasuki
rumahnya untuk mendatangi anaknya yang sudah hamil. Maka percayalah sang ayah.
Namun
demikian, pengintaian orang tuanya diketahui oleh Jalung Bali Jelau. Oleh
karenanya, sang raja air mengatakan bahwa karena kehadirannya sudah ketahuan,
maka dia tidak akan bisa datang lagi ke rumah tersebut. Selanjutnya dia
berpesan, kalau anaknya lahir kelak, tolong namai dia Lendem. Asuhlah dia
dengan baik, pakaikan dia “bening” yaitu gendongan bayi yang di taruh dipunggung berukir manik
dan taring binatang, kenakan
baju talun (baju dari kulit
kayu) berukir dan sebagai pelindung, pakailah Saung Seling. Jika ada hujan
gerimis disaat panas terik, datanglah ke tepi sungai, nanti saya kirimkan
pakaian yang dimaksud.
Tepat
sebagaimana yang dipesankan oleh Jalung Bali Jelau, disaat panas terik tetapi
hujan gerimis, sang ibu si bayi mendatangi tepi sungai. Maka terlihatlah
seperangkat perlengkapan bayi berupa baju talun berukir, gendongan bening
berukir manik dan berhias taring beruang dan Saung Seling lengkap dengan bulu
enggang di atasnya sebagai payung dikala membawa sang bayi berjalan-jalan di
luar rumah.
Demikianlah
cerita munculnya Saung Seling. Maka atas dasar itulah masyarakat Kenyah di Ulu
Bahau, khususnya kaum bangsawannya menggunakan Saung Seling dikala mengasuh
bayinya ataupun untuk kepentingan lainnya. Atas dasar itu pula motif ‘orang’ yang ada pada bagian puncak Saung Seling tidak pernah
diubah-ubah karena motif itu sudah ada demikian adanya sejak Saung Seling
pertama yang diberikan oleh Jalung Bali Jelau. Terutama pada bagian ujung nya yang tidak boleh tertinggal pada saat
membuatnya.
Catatan :
Berdasarkan sumber yang ditemui termasuk
penjelasan penting dari kepala adat besar ulu bahau, bahwa saung seling
merupakan milik dari suku kenyah leppu’ Maut’
Sumber :
Merupakan Hasil Catatan Lapangan ; Yayasan
Bhakti Total Bagi Indonesia Lestari
Kontributor : A. Faisal Kairupan
[1] Memasukkan batang tumbuhan tuba yang sudah
dihancurkan ke dalam air, agar cairannya yang berwarna seperti susu memabukkan
(tidak mematikan) ikan-ikan yang ada dalam sungai sehingga orang yang nuba bisa
mengambil ikan-ikan tersebut dengan mudah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar