Judul : Dua Sisi Fiksi
Durasi : 15 menit Pemain : 3 orang
Set : Ruang Kerja Praktek Psikolog Penulis Naskah : Neno
Uci as Dinda
Micky as Dendi
Egi as Psikolog
Sinopsis :
Dinda, seorang gadis “berkepribadian ganda” yang sedang ditangani seorang
Psikolog. Riwayatnya, Dinda pernah jatuh cinta pada seorang laki-laki saat
usianya masih belasan. Lebih dari 3 tahun mereka pacaran, laki-laki itu
meninggal karena kecelakaan. Namun, cinta Dinda terlanjur tumbuh terlalu dalam
hingga membuatnya mengalami abnormalitas kepribadian. Sebuah pribadi lain,
muncul dalam dirinya sebagai sosok laki-laki yang selalu berbagi cerita apapun
dengannya. Sosok itu bernama Dendi. Laki-laki bijaksana yang salau menuntun
Dinda saat teringat dengan Alek, almarhum pacarnya. Bertahun-tahun Dendi dan
Dinda tumbuh bersamaan, hingga kemudian alam bawah sadarnya tak mampu lagi
melakukan interaksi sewajarnya dengan dunia nyata.
“Cinta adalah karunia Tuhan. Berbahagialah manusia, ketika dia masih
diberikan kesempatan untuk mencicipi tentang cinta. Mencari tahu makna, arti
dan rasa tentang cinta. Hanya manusia beruntung yang bisa merasakan tentang
keberadaan Cinta di dalam hatinya.” kata Dinda, terbawa lamunan.
Dendi menatapnya, lalu tersenyum. “Kamu terlalu memuja cinta. Sementara,
cinta itu nggak pernah berpihak sama kamu. Dia pengkhianat,” sinisnya.
Dinda menatapnya marah. “Cinta bukanlah nafsu kebinatangan seperti yang
selama ini dipahami oleh banyak anak ingusan di dunia. Cinta juga bukan sekedar
komitmen dan tanggung jawab,” dia tampak geram dan melotot pada Dendi. “Dari
kacamataku, Cinta adalah rasa dua arah yang diungkapkan dengan caranya
masing-masing.” Dinda mereda, dan duduk di dekat jendela. “Dengan Cinta, semua
yang beku menjadi cair, amarah menjadi senyuman hangat, dan kesedihan menjadi
titik kekuatan untuk melatih tentang sabar dan ikhlas.” Lanjutnya.
Dendi menyelonjorkan kakinya di sofa. “Ya, ya, ya. Cinta itu selalu berjalan
tanpa logika. Ketika sedang jatuh cinta, kita bisa melakukan hal-hal yang sama
sekali bahkan tidak pernah kita bayangkan sebelumnya.” Sindirnya.
“Cinta itu bersabar. Ketika sedang mencintai seseorang, sekuat dan
sesering apapun luka yang diberikan pada kita, namun kita tetap selalu bisa
tersenyum kembali dan memaafkannya.” Dinda terus kemudian menatap Dendi. “Omong
kosong, kalau kamu bilang, kamu nggak pernah jatuh cinta,” tegasnya lalu
tertawa.
Dendi terkekeh dan akhirnya mengakui bahwa dia memang pernah
mengalaminya. “Cinta itu rela berkorban. Ketika jatuh cinta, kita berani
memperjuangkan hal-hal yang memang layak untuk didapatkan, mengorbankan banyak
hal cuma untuk menjadi pendamping di hari-harinya.”
Dinda tersenyum.
“Kenapa kamu jadi marah-marah? Cinta itu ikhlas. Dia tumbuh sebagai tunas
pesona jiwa. Kalau tunas
tidak tercipta dalam sesaat, maka dia juga tidak akan tercipta bertahun-tahun. Atau sia-sia sebagai
harapan abadi. Terima itu,” Dendi berkata santai. “Puisi cinta bukanlah pendapat yang dinyatakan.
Dia adalah lagu yang muncul pada luka yang berdarah, atau mulut yang sedang tersenyum.”
Mata mereka beradu cukup lama. Kemudian, Psikolog berbicara di depan
wajah Dendi. “Lantas kenapa harus ada ribuan kata cinta di muka bumi, kalau
ternyata setiap manusia tetap harus merasakan sakit hati?”
“Setiap orang punya persepsinya masing-masing untuk mendefinisikan kata
cinta, yang kebanyakan hanya bisa dirasakan tanpa bisa dilihat dengan kasat
mata.” jawab Dendi.
“Cinta bukanlah kata murah dan lumrah untuk dituturkan dari mulut ke mulut. Tetapi
cinta adalah anugerah Tuhan yang indah dan suci jika manusia dapat menilai
kesuciannya.” sahut Dinda.
Psikolog mengangkat tali hipnotisnya, dan menanamkan sugesti, “Yakinlah
pada Tuhan dan MalikatNya. Jika cinta tidak dapat mengembalikan dia yang kamu sayang kembali ke hadapanmu dalam kehidupan ini, pastilah cinta akan
menyatukan kalian di kehidupan yang akan datang.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar