Kamis, 06 November 2014

3 Detik


Gadis ini duduk sebagai seorang karyawan baru di hari pertama. Melangkah santai menuju lift yang akan membawanya ke lantai 23, bertemu dengan seorang Produser yang akan bertanggung jawab dan mengawasi kebenaran pekerjaannya. Ramping, bibirnya tipis, alisnya lebat, hidungnya tidak mancung tapi juga tidak pesek. Dia berhijab, tapi tidak kuno. Malahan, dia menggunakan high heels dan sangat nyaman dengan celana jeans yang dipadu atasan blazer. Dia tidak begitu cantik, tapi tiap kali melintas di keramaian, orang-orang akan memandangnya lebih dari tiga detik.

“Hai. Selamat pagi,” sapanya saat bertemu dengan si Produser yang hendak ditemuinya. Mereka bertemu di dalam kotak besi otomatis ini.
Produser yang bertubuh jangkung itu menoleh, lalu tersenyum. Gadis ini menyodorkan tangan sebagai salam perjumpaan secara formal, terhitung sejak hari ini. “Hei, pagi,” dia menyambut tangan ini, namun sejenak lelaki itu melirik jam tangannya. “Good, nggak telat ya.” Mahesa namanya, kemudian tersenyum.

Pintu lift terbuka, Produser dan Gadis yang kini resmi jadi asistennya ini sudah sampai. Melangkah pasti bersama, melintasi lift sebelah yang juga baru saja terbuka. Tampak seorang teman menyapanya akrab, bahkan mereka langsung membuka perbincangan tentang pertandingan Real Madrid vs Barcelona tadi subuh. Sementara Gadis ini berjalan sendirian di belakang mereka dan melarikan matanya untuk memandang ke arah manapun yang disuka. Termasuk melihat pintu lift yang hampir bergerak menutup kembali. Sepasang mata di pojok kotak besi, di balik keramaian itu, mata mereka beradu pandang. Langkahnya berhenti, menatap lurus pada sosok pria itu yang tampak hampir tersenyum. Namun, baru sekejap, pintu lift benar-benar tertutup rapat dan perangkat katrol itu melanjutkan perjalanannya ke lantai yang lebih tinggi.

“Hei,” terdengar jentikan jari yang membuyarkan lamunan si Gadis.
“Sorry,” Gadis ini tersontak pelan lalu tertawa ringan sebentar.
Mahesa melanjutkan, menjabarkan apa saja yang akan dikerjakan Gadis yang sebenarnya tidak punya Basic Broadcasting ini. Namun, mengandalkan kepandaian merangkai kata menjadi sebuah naskah dan skrip cerita, Gadis ini tampak patut untuk diperhitungkan, sebagai pekerja tulis atau bahasa broadcastingnya Script Writer. Dan, pastinya di bawah kordinasinya. Sambil berjalan, Mahesa mengenalkannya pada seluruh karyawan di lantai 23.

“Ini Gadis. Dia akan pegang program musik,” kata Mahesa. Ya, Gadis yang sedang dibicarakan sedari tadi adalah aku. Seraya menjabat tangan mereka satu per satu, mataku mencari-cari sesuatu. Tepatnya, mencari tatapan dan senyuman yang sama, milik seseorang yang tadi pagi tak sengaja saling pandang di dalam lift. Loh? Kenapa bayangan senyum sekilas itu bisa melekat kuat di ingatanku? Padahal sudah hampir setengah hari berlalu. Aku mentertawakan diri sendiri dalam hati. Ini namanya godaan di kantor baru. Biasalah itu terjadi di lingkungan kerja yang masih terasa asing. Mencari suatu titik nyaman dimana itu akan membuat kita betah berlama-lama di tempat ini. Setidaknya, itu menjadi sebuah harapan untuk bertahan di dunia kerja, sedikit lebih lama.

Sampai kembali berkutat dengan pekerjaan baruku pun, senyum pria itu masih saja menari-nari di awangku. Membuatku tertawa sendiri, namun segera kembali serius mencari data informasi tentang musik korea. Bukan kegemaran, tapi tuntutan pekerjaan. Masih terasa aneh, bahkan sulit. Tapi kesulitan itu yang menuntunku untuk membaur pada karyawan lainnya yang sudah lebih dulu paham. Bagaimana rasanya mencari data mendetil personil boyband korea yang sangat ramai diperbincangkan, sementara selama ini yang menarik minatku selama ini hanyalah Bahasa Inggris Amerika maupun British, Jerman dan Sastra Indonesia. Atau, pada saat harus mencari data personil tersebut, wajib untuk hapal minimal tahu, dimana letak perbedaan wajah mereka. Sementara sekelebat, wajah penyanyi pop korea itu, semuanya sama…atau ya, beda tapi tipis saja. Belum lagi, mendengarkan bagaimana gaya bermusik mereka dengan bahasa negaranya itu, sementara yang aku suka adalah jenis musik country dan semua yang dilantunkan akustik natural? Sudahlah, tidak perlu banyak mengeluh, anggap saja ini tantangan hidup. Hmm.

Jam bubar kantor, tidak sabar aku ingin sampai di kosan dan berbaring tidur hingga kembali lagi ke ruangan ini besok pagi. Lift kelihatan ramai pastinya. Ya, inilah hiruk pikuk ibu kota. Semua orang seolah berlomba untuk sampai di rumah masing-masing atau terburu-buru karena sudah ada janji di coffee shop dengan relasi sepulang kerja. Aku, seorang perantauan sebatang kara di Jakarta. Keluargaku ada di Balikpapan, kota kecil yang cukup berkembang di bagian Kalimantan Timur. Dua kakak, dua keponakan, dan Ibu yang paling kusayang. Ayahku, sudah meninggal setahun yang lalu. Peristiwa yang membuatku harus angkat kaki sejenak dari kota ini, demi amanah keluarga yang menintaku untuk menenangkan Ibuku. Dulu, aku sempat bekerja di sebuah stasiun televisi nasional di Jakarta, tapi kemudian aku rela meninggalkan semua karir yang sudah kubangun selama 2 tahun, demi permohonan sang Bunda. Namun, percayalah, segala sesuatu yang dipaksakan tidak pernah terasa indah, meskipun terlihat cukup sempurna. Demikian yang terjadi padaku selama hampir setahun aku bekerja di kota kelahiranku itu. Kupikir, hanya beberapa bulan pertama saja terasa hambar.

Tapi ternyata kehampaan itu terus berjalan sampai di bulan ke 10, yang kemudian membuatku mantap untuk mengundurkan diri. “Aku bisa melakukan pekerjaan ini. Tapi hatiku tidak mencintai pekerjaan ini,” begitu kataku saat curhat dengan seorang sahabatku di kota Jakarta ini. Kala itu, aku bekerja sebagai seorang wartawan surat kabar harian. Menantang bahaya, menghapus angan-angan bersantai di akhir pekan, dan jangan berharap tidur nyenyak. Bahkan, untuk bermain dengan keponakan, berbincang lama dengan ibuku saja tak sempat. Tiba di rumah sudah pukul 12 malam, sementara setiap pagi aku selalu bangun terburu-buru karena sudah ada janji dengan pejabat-pejabat daerah. Aku bisa, berani, dan sanggup. Tapi perasaanku tidak bisa dibohongi, begitupun riak wajahku yang kian tak seceria biasanya. Ibu menangkap raut senyumku yang beberapa minggu terakhir seperti terpaksa. Dia mengajakku bicara empat mata, di hari kedua beliau dirawat di Rumah Sakit karena darah tinggi dan deteksi sakit Jantung. Saat itulah dia sadar, aku tak kunjung masuk kerja, karena biasanya jam 7 pagi, aku sudah bangun dan melajukan motor menemui narasumber. Atau, misalnya tiba-tiba keesokan hari aku harus berada di Bali, bisa juga besoknya ada di Surabaya, malahan Lombok, mengikuti kemana para petinggi daerah itu berkegiatan. Bukan karena hanya aku ingin memprioritaskan kesehatan Ibu, tapi aku juga sudah resmi mengundurkan diri. Aku lebih lega, karena dengan begitu, aku bisa mencurakan seluruh waktu untuk menjaga beliau, sampai kuat kembali.

“Kamu nggak kerja?” tanyanya.
“Udah ijin. Nggak apa-apa, aku di sini aja sama Ibu. Tenang,” jawabku, melempar senyum padanya, lalu menyuapinya sarapan, nasi dan lauk tanpa bumbu.
Dia tidak mau menerima sendok makan yang kusodorkan. Malah menatapku dalam. “Lihat Ibu, nak.” Pintanya.
Aku menurut. Tak kuasa aku menahan debar jantungku memandang matanya yang mulai sayu namun masih bisa tersenyum teduh nan lembut.
“Kenapa kamu berhenti kerja?” tanyanya.
Aku menghela nafas pelan. Akhirnya beliau sadar juga. Seorang anak tidak bisa begitu saja berbohong kepada ibunya. Karena naluri ikatan darah selalu begitu kuat.
“Nggak apa-apa. Nanti bisa cari pekerjaan yang baru,” jawabku, berupaya menenangkannya.
“Jangan bohong sama Ibu,” dia menatapku dengan gurat muka yang mulai terharu. Aku menelan air liur di kerongkonganku yang terasa kering. “Ibu baik-baik aja. Kamu nggak perlu berkorban lebih banyak lagi demi Ibu. Cukup ya, nak.” ujarnya. Lagi-lagi, mataku selalu kalah di detik ketiga tiap kali beradu tatap dengannya.
Aku meletakkan piring di atas meja. “Ibu ini ngomong apa,” tuturku seraya tak kuasa menahan airmataku yang menetes di atas kulit ari pipiku.
“Belakangan wajahmu murung. Kalau memang di Jakarta bisa bikin kamu senyum lagi, Ibu ikhlas.” ujarnya.
Tentu saja, sontak membuatku menatapnya. Membiarkan airmataku mengalir lebih deras dan langsung memeluknya erat.
“Ibu lebih nggak tahan lagi, ngeliat kamu nggak bisa senyum. Lebih baik jauh terasa dekat, daripada dekat tapi terasa jauh,” lanjutnya.
Kucium pipinya dengan hangat.
“Kamu tenang aja. Ibu baik-baik aja di sini,” ucapnya.
“Janji ya?” pintaku.
“Ibu kan anak tentara,” jawabnya, membuatku tertawa.
“Aku cucu tentara,” balasku.

Restu itu yang kubawa sebagai modal untuk kembali meraih mimpi dan harapanku sebagai seorang penulis. Menulis jenis apapun, berusaha kujajal tanpa pilih-pilih. Meski selalu ada tantangan baru, tapi aku mau belajar. Karena aku sangat suka menulis, terutama mengarang. Lantas, kenapa pekerjaan sebagai wartawan tidak diteruskan? Padahal, itu juga menulis kan? Ya, jawabannya ada pada kata hati tiga detik. Sederhana. Semakin banyak orang yang bertanya, “Kamu suka jadi wartawan?” sebelum detik ketiga, aku selalu menjawab dalam hati. “Aku bisa, tapi aku tidak mencintai pekerjaan ini.” Kemudian pada saat orang lain bertanya, “Kamu suka mengarang cerita novel atau film?” maka sebelum detik ketiga juga, dalam hati aku akan menjawab. “Ibarat legenda sangkuriang, diminta menciptakan cerita 100 lembar dalam semalam, aku akan melakukannya dengan senang hati.”

***

Hari-hari kulalui, menikmati pekerjaan baru. Menyambut kembali harapan yang sempat kurasa sirna. Banyak hal yang amat tak ternilai harganya saat kuceritakan pada Ibuku di rumah, lewat telepon selular. Aku punya weekend, bisa tidur nyenyak, bertemu dengan orang-orang baru yang berpola pikir terbuka, dan yang paling penting, aku bisa lebih sering berbincang dengannya kapanpun aku mau.

Hari ini, jadwal shooting taping pertamaku dengan para crew yang bermarkas di lantai 27. Aku menyudahi telepon dengan Ibu pagi ini, saat melihat tiga orang yang tampak asing sedang menyetel peralatan kamera dan lampu kino. Saat ponsel kuselipkan di kantong celanaku, Mahesa datang dan mengenalkan kami. Aku berjabat tangan dengan mereka. Selalu, cukup tiga detik saja untuk bersalaman dan tersenyum ramah. Tapi tidak dengan seorang yang malah asik menyetel settingan kamera. Dia belum belum menoleh sama sekali, tapi mataku tidak mau bergeser satu mili pun dari sosoknya. Rambutnya gondrong sebahu dan posturnya tidak begitu tinggi. Jantungku rasanya berdebar tidak normal. Haha, ini hanya kiasan. Aku tidak sedang sakit. Mungkin ini pertama kalinya lagi, setelah setahun aku tidak bersentuhan dengan aktivitas ini. Grogi sekaligus senang, tepatnya. Mudah-mudahan aku masih ingat bagaimana cara melakukannya. 

Di tengah break shooting untuk berganti segmen, Mahesa meminta pendapatku untuk mengubah angle kamera supaya menjadi lebih ceria dan tidak kaku. Maka berdiskusi sebentar hingga kemudian, “Bro, gimana kalo nanti angle host, lo mulai zoom out dari Cue Card yang ada di tangan si host,” ujar Mahesa pada si cameraman yang spontan menoleh.

Aku mematung. Si Gondrong itu menoleh sejenak. Dia. Si pemilik mata itu. Yang sudah beberapa minggu ini kucari-cari, kini ada di sebelahku, kurang dari 2 meter. Ah, benar-benar menoleh sekilas saja, lalu menurut pada usulan kami. Aku berupaya menenangkan diri, menutupi grogi dan berusaha tidak salah tingkah sampai shooting ini selesai. Tiap kali aku mengungkapkan pendapat, dari ujung mata aku bisa menangkap dia selalu menoleh padaku sekilas. Hanya satu detik!

Hingga selesai, dan akhirnya semua peralatan dimatikan, aku masih terpaku dari tempatku berdiri. “Shootingnya udah kelar,” kata Mahesa, mengajakku kembali ke meja kerja. Aku menoleh, mendapati si Gondrong yang sangat pendiam itu tersenyum, kemudian pergi begitu saja. Ah, lagi-lagi hanya sedetik! Cepat sekali! Aku menghela napas, lalu mengikuti langkah Mahesa.

Tahu? Sepanjang hari, aku dipadati banyak agenda kegiatan, membuatku bergerak kesana kemari, menyambukan pesan dari divisi grafis ke editor, mengerjakan skrip sambil bertanya pada asisten lainnya, juga mengecek puluhan halaman koleksi video klip untuk dirangkai menjadi playlist di televisi. Tapi aku mengerjakannya sambil sesekali tersenyum tiba-tiba. Sebagian karyawan lain mungkin berpikir aku orang yang ramah, sebagian lagi bisa saja menebak aku masih bersemangat, dan kebanyakan pasti menganggapku sinting. Bagaimana tidak, kalau sesekali dengan mudahnya pria yang belum kuketahui namanya itu, senyumnya melintas begitu saja dibenakku. 

Begitu seterusnya, sampai sudah masuk bulan kedua aku bekerja di kantor ini. Aku bisa berbincang dengan beberapa crew cameraman sampai mulai menghapal nama mereka satu per satu. Aku bisa menghitung dan selalu tepat. Mereka akan menatapku selama 2 detik, dan aku akan mengalihkan pandangan di detik ketiga. Kecuali dia. Sampai hari ini, aku belum juga tahu namanya, padahal sudah beberapa kali kami bekerja bersama dalam satu studio. Bahkan berjarak antara 1 sampai 2 meter saja. 
Kuceritakan kebodohanku yang membungkam ini pada ibuku, beliau hanya tertawa dan tidak berkomentar. Tidak menyelesaikan masalah.

***

Masuk di bulan ke tiga, aku inisiatif mencari tahu siapa nama pria yang sukses membuatku menoleh berkali-kali itu. Di kerumunan saat crew sedang break, aku bertahan, berharap seseorang akan memanggil dia sampai menoleh. Dengan begitu aku bisa tahu siapa namanya. Setengah hiruk pikuk itu, kudengar nama “Krisna” disebut. Oke, bermodal ragu, kuingat nama itu dan kucoba untuk berincang dengan seorang kawan, si Aco yang bermarkas di lantai 27. Lantas kutitipkan salam, diakhir perbincangan ringan dengannya. Salam, untuk Krisna.

Masuk di bulan ke empat, aku baru menyelesaikan shooting taping dan menunggu data yang sedang ditransfer ke hardisk eksternal untuk nantinya aku serahkan ke editor video. Aku duduk di kursi di depan studio, yang biasanya digunakan untuk menunggu on air dan acara live berlangsung. Aco muncul bersama beberapa crew lainnya. Dia melihat keberadaanku, lalu mendekat dan bicara pelan. “Itu yang namanya Krisna. Udah gue salamin,” katanya sambil memandang ke arah seorang pria betubuh kurus dan berambut klimis.

Aku menepuk jidatku pelan. “Co, salah orang!” ujarku pelan. Spontan dia tertawa kencang. Kami terbahak, membuat banyak orang menoleh. Pas, saat itu VTR Person memecah keheningan. “Udah selesai nih,” katanya dan memberikan hardisk itu ke tanganku.
“Terima kasih,” ucapku dan segera pergi begitu saja. Jadi selama hampir sebulan ini, aku salah kirim salam. Aku sangat siap menertawakan diriku sendiri tiap kali bertemu dengan si pemilik nama Krisna itu.

Beberapa hari kemudian, seperti biasa, selesai shooting, aku menunggu di kursi. Sambil berbincang dengan beberapa orang yang bersantai, karena hari juga sudah sore. Bookingan studio dariku adalah jadwal terakhir para crew hari ini. Aku pun sedang tidak ingin terburu-buru. Asik bercanda tawa dengan Marta, Krisna, dan beberapa crew lain yang belum kuhapal namanya, muncul si Gondrong itu dengan wajah yang masih berair dan rambut yang lembab. Dia pasti akan menunaikan sholat Magrib. Ini bukan pertama kali aku melihat dia selalu sholat tepat waktu. Saat Adzan, dia pasti menghilang dari tengah keramaian, tahu-tahu muncul dari arah toilet dengan sebagian wajah yang dibasuh air. Pernah, aku berpapasan dengannya saat masuk ke dalam lift. Dia bersama teman-temannya selesai sholat Jumat di Basement. Dia tersenyum padaku, tanpa disadari teman-teman di sebelahnya. Aku segera masuk menjejalkan diri di keramaian orang di dalam lift yang membawaku ke lantai 23. Kubiarkan dia melihat punggungku saja, jangan sampai dia melihatku tersenyum sumringah sampai pipiku memerah. Tahu, aku paling suka melihat aura-aura para kaum nabi Adam usai sholat Jumat. Karena, mereka terlihat bersih dan menggetarkan hati sebagian perempuan yang beranggapan sama denganku.

“Tumben ada di sini,” sapa suara.
“Nunggu transferan. Macet hardisk-nya,” jawabku santai seraya menoleh. Hei, dia menyapaku. Iya, dia yang kuincar berbulan-bulan ini. Dia sudah selesai sholat rupanya.
“Oh, iya tunggu aja. Semua yang ada di sini nggak gigit kok. Apalagi Krisna. Dia orangnya bertanggung jawab,” katanya sambil tersenyum.
“Kenapa tiba-tiba jadi ngomongin tanggung jawab?” batinku bingung. Atau gara-gara dia tahu aku pernah menitipkan salam untuk Krisna, si VTR Person itu?

Sambil memasang jaket, dia terus bicara yang entahlah kemana arahnya. Aku malah sibuk memperhatikan dia, sebisaku menahan senyum. Sampai dia kembali duduk sambil memasang sepatu, di sebelahku. Tepat di sampingku, tidak sampai satu meter. Jantungku berdebar kencang, kemudian dia bicara lagi pada Krisna. Entah apa yang dibicarakannya, tak kudengarkan karena aku sibuk menikmati indah garis wajahnya, gerak bibirnya, dan matanya yang teduh. Tiba-tiba dia menoleh padaku saat sempat kudengar kalimat terakhir tentang refleksi kaca cerminan diri. Mendadak terdengar puitis sekali.
“Ya kan?” tanyanya, menoleh padaku. Sekejap buyar isi kepalaku, melihat matanya benar-benar menatapku dalam jarak dekat. Indah sekali.
“Hmm?” aku menahan agar mataku tak berkedip saat beradu dengannya.
“Kok kamu nggak nge-met (ngerti)? Dari tadi bengong?” tanyanya.
Dalam hati kubilang, “Kamu manis sekali, sampai aku bingung apa kakiku masih menapak di tanah, atau sudah melayang entah kemana.”      
“Otakku nggak sampe, sama bahasa filosofi sastra kalian,” jawabku bohong, memasang wajah selugu mungkin. Gaya Sastra? Puisi? Kisah Cinta? Kalau ada nilai ujiannya, aku pasti selalu dapat nilai 9.

Crew lain mulai bermunculan lagi. Aco mendekat padaku, saat si pendiam itu pergi entah kemana meninggalkan tasnya di sebelahku. “Dia orangnya,” bisikku sangat pelan dan hati-hati pada Aco.
“Ooalah…” dia membuat beberapa orang menoleh pada kami. Aku segera mengalihkan pembicaraan, bertanya ke teman yang lain tentang jadwal shooting live atau apalah, yang penting mereka tidak lagi menoleh padaku. Selagi mereka menjawab serius tapi santai, Aco berbisik di sebelahku. “Kalo yang itu, Fauzi namanya.”
Aku tersenyum sumringah dan mengangguk seperti baru menang quis. I got it! Kali ini aku pasti benar. “Salam ya,” ujarku pelan.
Kemudian melihat Krisna selesai meng-copy. Segera kuambil dan aku beranjak kembali ke ruanganku. Hatiku senang. Ada harapan untuk terus melanjutkan kisah ini.

***       

Saat aku ditugaskan untuk membooking studio lagi, aku masuk ke ruang on air, dimana aku bisa melihat langsung shooting live dari balik kaca transparan. Dari balik kaca tembus pandang inilah kemudian kulihat di kejauhan, di sebelah kamera, Fauzi menoleh menyadari kehadiranku. Dia tersenyum lebih lebar dari biasanya, membuatku salah tingkah. Tentu saja dia terlihat lebih manis sampai aku harus menyembunyikan wajahku yang rasanya mulai hangat.
Usai bicara dengan Kepala Studio, aku memberanikan diri menoleh pada Fauzi sebentar. Kubalas senyumnya dan kulihat dia masih tersenyum dari tempatnya duduk. Sebelum ada yang menyadari ‘apa yang sedang kami lakukan’, aku segera bergegas pergi.
Beberapa hari kemudian, aku shooting tanpanya. Dia hanya menonton dari balik kaca, tak bisa bohong bahwa sesekali dia memperhatikan aku. Aku nyaris kehilangan konsentrasi karena wajahnya yang sedang tidak tersenyum saja, bisa membuatku kelabakan. Apalagi kalau dia sampai tersenyum lebar. Oh Mama… Mau mati rasanya. Umm, ini berlebihan.
Usai shooting, aku kembali ke ruangan. Aco sempat berpesan sebelum pintu lift tertutup. “Udah gue salamin, tiap hari,” ucapnya buru-buru, menghilang dari balik pintu besi. Mumpung hanya ada aku sendirian di dalam lift, aku nyengir lebar dan nyaris tertawa. Agak memalukan.
Aku mengcopy ulang materi tadi ke komputer editor dulu, baru kemudian membereskan tas dan memasang jaket. Ingin segera berjumpa dengan si kasur dan adiknya, si bantal. Aku pun menuju lift, menunggu satu dari empat pintu bisu ini, terbuka untukku.
Saat terbuka, aku melangkah santai dan tak sengaja malah sibuk memperhatikan ujung kaki sambil melangkah masuk. Sangat sadar, hanya ada satu orang dalam ruangan berukuran 2x2 meter ini. Kalau aku masuk, artinya hanya berduaan.

“Baru pulang?” sapa Fauzi. Pintu lift pun tertutup, membawa kami turun. Rambutnya diikat agak tinggi. Telihat lebih rapi dan mungkin lebih bagus begini. Seperti pendekar-pendekar Jepang. Ah, biarkan dia melakukan apa yang menurutnya nyaman. Mau diurai atau ikat, di mataku dia tetap saja manis.
“Iya nih. Pengen cepet sampe kosan. Terus tidur,” jawabku asal, lalu membalas senyumnya.
“Kok nge-Kos? Bukan orang Jakarta?” tanyanya.
“Aku aslinya Balikpapan,” jawabku, berusaha menahan agar percakapan tidak terputus begitu saja maka aku bertanya kembali padanya. “Kamu kok baru pulang jam segini?” Hmm, perbincangan mulai lancar nih. Asik.
“Iya, nunggu macet.”
“Ke arah mana pulangnya?”
“Lebak bulus.”
“Ooh. Naik motor?”
“Iya. Aku parkir di luar. Biasanya temen-temen juga nongkrong dulu, nunggu macet di parkiran sebelah.”

Kemudian pintu lift terbuka, kami sudah sampai. Biasanya, keluar dari lift, aku belok kiri, melakukan hal yang jarang dilakukan karyawan lainnya, yang biasanya belok kanan, nantinya akan melintas di parkiran mobil. Kupikir, dia akan meneruskan langkahnya ke kanan, tapi ternyata dia menungguku melangkah pasti kemana akan berbelok. Dia ikut belok kiri. Hmm, kami kembali melanjutkan percakapan.
“Kamu udah lama di kantor ini?” tanyaku.
“Aku baru kok. Sekitar 6 bulan.”
“Aku lebih baru. Aku baru 4 bulan.”
Kulihat dia tersenyum.
“Kamu betah kerja di sini?” tanyaku lagi.
“Yaa, semua pekerjaan itu harus disyukuri. Alhamdulillah kalau ada kerjaan tambahan,” jawabnya. “Kamu dulu kerja di mana?” tanyanya.
“Aku pernah di Jakarta 2 tahun yang lalu di station tv. Tapi setahun kemaren banting stir jadi wartawan koran. Karena nggak betah, aku balik lagi ke broadcasting,” kisahku.
“Bukannya jadi wartawan itu enak, akses masuknya kemana-mana kayak pintu ajaib?” tanyanya membuatku tertawa singkat.
“Memang sih, wartawan itu bisa dibilang Warga Negara kelas 1, sejajar sama orang pemerintahan. Masuk ke mana aja dipermudah… Tapi, balik lagi ke statement bahwa, nggak semua yang dari luar terlihat mudah itu menyenangkan.”
Dia hanya tersenyum. Hingga kemudian, sampailah kami harus berpisah di depan parkiran motor. Karena aku hanya tinggal berjalan kaki menuju kosanku yang dekat dengan kantor. “Dah Oji,” aku melambaikan tangan.
Dia memberikan senyumnya lagi, yang lebar dan manis itu.

***

Aku shooting lagi, seperti biasa, kebagian jadwal terakhir pada jam 3 sore. Hostku belum juga tiba di studio karena masih terjebak di tengah kemacetan ibu kota. Sambil menunggu aku duduk di pojokan studio sambil mendengarkan cerita sesekali lucu dari Produser tentang pacarnya. Mataku sesekali justru sibuk memperhatikan Fauzi yang hilir mudik mengatur kamera 1 dan kamera 2 untuk kebutuhan beauty shot sebuah produk. Bukan programku. Tapi aku senang bisa melihatnya hari ini. Lalu, kulihat seorang perempuan yang sepertinya juga seorang asisten produksi sepertiku sibuk hilir mudik. Saat berpapasan dengan Fauzi, perempuan itu memegang pinggang si pendiam itu. Hilang senyumku seketika. Entah, saat itu, tepat Mahesa membuatku tertawa saat bilang, “Kadang gue sebel. Kenapa semua Social Media gue, facebook, twitter, dikomentarin nggak penting sama cewek gue. Kepo amat. Jadi cemburu buta kan tuh. Malu gue sama temen-temen gue kelakukan pacar gue begitu,” curhatnya. Itu sebenarnya tidak lucu, tapi aku berusaha agar kelihatan bahwa itu cerita lucu dan aku mengeraskan tawaku sedikit. Membuat Fauzi menoleh sejenak lalu berpaling, tidak tersenyum sama sekali. Ini pembalasan? Bisa jadi.

Entah sampai kapan akan terus seperti ini. Masuk bulan ke enam aku menyandang status sebagai karyawan di perusahaan milik bangsa Korea ini. Yang jelas, aku tidak akan membiarkan diriku terhanyut lagi seperti masa labil dulu. Saat naksir orang, aku niat caper dan memberikan perhatian yang berlebihan. Kali ini, akibat pengalaman masa lalu yang menampar bahkan seolah menendangku sampai tersadar, aku berusaha mendalikan emosi agar lebih stabil. Kubiarkan saja begini, tanpa pergerakan lebih. Membiarkan segalanya berjalan secara alami tanpa skenario buatan. Hanya bertemu Fauzi sesekali, kadang tersenyum kadang tidak, bahkan bisa berminggu-minggu tidak bertemu dengannya sama sekali. Entah sampai kapan begini.

Apa aku harus terus pasrah menunggu si pendiam itu bicara? Seandainya dia tahu, bahwa sama sekali tidak mendengarkan kabar tentangnya selama berhari-hari itu, membuatku gelisah kemanapun aku bergerak. Sementara aku tidak ada kepentingan apapun untuk menjadi alasan bisa nongkrong di lantai 27. Hingga suatu pagi aku bertemu Aco.
“Oji udah dateng?” tanyaku.
“Udah, tadi jam 8. Gimana perkembangan kalian?”
“Nol.”
Dia tertawa. “Lo harus sabar. Positif thinking. Nih yaa, Oji itu pendiem. Sama cowok aja diem, jarang ngobrol. Apalagi sama cewek. Ceweknya manis lagi. Mungkin dia grogi.” Dia menasehatiku. “Gue sampein salam lo tiap pagi. Ojinya cuma cengar-cengir aja, kayak kuda,” kata Aco.
Aku tertawa mensejajari langkahnya menuju lift kantor.

***

Aku shooting hari ini. Lagi, tanpanya.
Tapi aku bisa melihatnya mondar-mandir sebelum dan setelah menunaikan sholat Ashar. Aku merasa senyumku terasa kaku untuk kuberikan padanya. Seperti sedang memaksa diri untuk berhenti bermain-main dengan perasaan. Tidak lagi berani berharap banyak. Saat dia tak sengaja kutangkap basah sedang melihatku dari balik kaca, aku tersenyum tapi menatap ujung kakiku sendiri, tertunduk, sambil memberikan kode cooling down ke atas kamera master. Aku merindukan senyum itu.

Lalu, saat break pergantian segmen, dia masuk dan berdiri di belakangku, seolah sedang asik mengajak Gilang yang memegang kamera 2 bicara komposisi objek. Saat melintas, aku sempat mendengar dia berkata padaku. “Cameraman baru ya mba?” di saat headset kamera master masih melekat seperti bando di kepalaku dan mic yang setengah melingkar di pipi kiriku.
Hanya kujawab, “Iya nih” lalu kembali melanjutkan kordinasi dengan host. Kulirik sedikit, dia tampak tersenyum. Tak lama kemudian, dia pergi. Kembali menonton dari balik kaca. “Yaelah bro, kalo mau gantiin Gilang bilang aja. Nggak usah sok-sok bolak-balik berdiri di belakang Gilang, yang jelas-jelas daritadi anteng berdiri di samping gue,” batinku nyolot senang.
Saat shooting selesai, satu per satu peralatan dan lampu kino dimatikan. Kabel-kabel kembali digulung, dan aku melepaskan headset dari kepalaku. Kulihat Fauzi mendekat padaku, menyambut benda di tanganku ini, nyaris membuatku salah tingkah. “Asik nih, punya cameramen cewek,” kudengar dia sempat bilang begitu.
Tapi sekali lagi aku malah menjawab, “Iya nih” lalu meninggalkannya, mendekati Mahesa yang sedang berbincang dengan host. Aku hanya tidak ingin terlihat semakin salah tingkah tiap kali Fauzi memangkas jarak di antara kami.

Sejak hari itu, Produser memintaku untuk break dan tidak perlu shooting dalam jangka waktu yang cukup lama, karena kami sedang merancang program baru, menyambut pergantian tahun. Hh, ini pasti akan membuat jarak kami semakin tebal. Bisa jadi, lebih tebal dari biasanya.
Aku berdiri di beranda lantai 23, memandangi warna-warna lampu bertebaran di kota Jakarta dari ketinggian. Hal kesukaanku, yang juga menjadi alasan aku merindukan kota ini. Terlintas senyum Fauzi di benakku. Kemudian terpikir, “Cowok pendiem yang sulit ngobrol sama orang lain, tiba-tiba dia bisa negor dan ngajak ngobrol cewek duluan di luar kepentingan, artinya bisa jadi cowok itu udah mulai berani memberontak dirinya sendiri. Dia melakukan hal yang nggak biasa dia lakukan...Besar kemungkinan dia jatuh hati sama cewek itu, tapi dia nggak tahu gimana cara memulai komunikasi. Catet tuh!” aku mengingatkan diri sendiri dalam hati.

Ini tidak bisa disangkal, bahwa setiap kali aku tidak bertemu dengannya, rindu itu seperti memukul bertalu-talu ke ulu hatiku. “Kadang, hal yang paling menyakitkan bukan pada saat harus melepaskan...justru saat kita ingat bagaimana dulu mendapatkannya dan pernah mempertahankannya sedemikian lama,” begitu yang terlintas di kepalaku. “Tadinya aku selalu berpikir bahwa orang di sekitarku cuma orang-orang biasa yang nggak ada artinya. Tapi tahu-tahu pada saat mereka jauh dan bahkan nggak tergapai, aku justru nggak rela mereka menjauh dan menghilang. Itu dulu pertama kalinya aku tahu, aplikasi rindu dan jatuh cinta. Dan saat ini, sepertinya aku sedang mengulangnya.”

***

Aku duduk di kursi di depan studio, karena Mahesa memintaku shooting untuk melanjutkan materi yang sudah sejak sebulan lalu tertunda. Aku menunggu si Produser selesai ngobrol dengan Pak Manager.
“Ngelamun?” sapa suara, yang aku sudah tahu, ini Fauzi. Duduk di sebelahku.
Hanya ada kami berdua.
Aku tersenyum, membiarkan diriku bicara apa adanya. “Saya inget kamu. Saya juga nggak tahu kenapa sejak hari itu saya kenal kamu, saya tiba-tiba jadi kepikiran sama kamu,” kataku, tak berani menatapnya. “Saya bahkan lupa kapan dan bagaimana terakhir kali kita ketemu. Tapi saya malah dengan mudahnya ingat semua gerak muka dan senyum kamu tiap kali mata kita beradu pandang.”
“Apa yang kamu pikirkan tentang saya?”
“Saya nggak tahu.” Aku menatapnya menatap matanya sebentar, 3 detik cukup. Dia tampak tersenyum. “Satu hal yang membuat saya bertahan menuju kamu, padahal masa depan kita masih abu-abu...adalah di saat saya melihat tiang agama yang kamu bangun. Senyum teduh kamu yang selalu terlukis indah di benak saya,” lanjutku.

Dia diam sejenak, menatapi ujung kakinya sendiri, sama seperti yang saat ini juga sedang aku lakukan. “Saya sebenarnya tidak yakin ini akan berhasil atau tidak. Tapi sejak pertama kali saya lihat kamu melintas di parkiran motor, pagi itu, enam bulan yang lalu, susah buat saya untuk sembunyi dan menahan senyum yang rasanya tidak karuan,” katanya.

Aku memandangnya, belum berkomentar apa-apa.
“Sampai suatu hari saya sadar, kita berbeda. Kamu akrab sama semua orang, sementara saya orang yang paling susah untuk memulai percakapan duluan. Bisa aja, kamu bosan ada di dekat saya,” lanjutnya. “Atau kamu memang sebenarnya baik dan ramah ke semua orang, dan saya takut dibilang kepedean,” tambahnya. “Kamu juga kelihatannya berpendidikan, sedangkan saya cuma seorang cameramen. Bisanya cuma paham tentang kamera, belum tentu bisa paham sama isi hati orang. Isi hati kamu.”

Aku tersenyum padanya. “Itu menurut kamu. Di dunia ini tuh nggak ada yang sempurna. Yang ada cuma bagaimana saling melengkapi di tengah perbedaan yang ada," ujarku.
Dia melihatku, cukup lama, lewat dari tiga detik.
“Di dunia ini sebenernya nggak ada kata "sulit" dan "tidak bisa"...yang ada cuma kamu "mau" atau "tidak" melakukannya,” aku melanjutkan kata-kataku.
Sementara dia hanya mendengarkan.

“Di dunia ini nggak ada pasangan yang sempurna. Yang ada cuma dua insan manusia saling mempertahankan meski sulit, dan paham bagaimana saling menutupi kekurangan. Makanya, jangan pernah berani mencintai seseorang kalau kamu aja masih takut melukai hatimu sendiri.”
Dia kemudian tersenyum, mengalihkan pandangan matanya dariku.
Aku semakin tak ingin menahan lebih lama apa yang ingin aku sampaikan. “Kamu sadar nggak, waktu kamu bilang kalo kamu itu susah memulai percakapan? Setiap kali kita ketemu di sini, kamu selalu sapa aku duluan.”
Dia tertawa lalu mengangguk, membenarkan.

“Kalo kamu sadar, semua cowok di kantor ini nggak ada yang aku aja bicara pake sebutan saya, aku dan kamu. Ya satu-satunya, cuma sama kamu,” lanjutku.
Dia tertawa lagi lalu mengangguk, membenarkan.
“Saya nggak berharap hal berlebihan dari kamu. Cukup kamu jujur aja sama diri sendiri, itu sudah cukup buat saya,”

Dia kembali melihatku, cukup lama, lewat dari tiga detik.
Detik berikutnya, suara langkah berbondong-bondong para crew memasuki area studio. Aku bangkit dan segera menghampiri host untuk briefing.
Shooting kali ini dia bersamaku, bukan Gilang seperti biasanya. Aku tersenyum padanya yang kemudian membalas.

“Oke, take ya. Ready…. 3, 2, 1.” Aku melanjutkan pekerjaanku, dia melanjutkan pekerjaannya.
Ada apa di balik arti dari tiga detik? Sadar atau tidak, setiap orang yang beradu pandang selama 3 detik dan lebih dari itu, maka saat itulah perasaan seseorang bisa diselami. Entah, sedang berbohong, marah, sedang sedih, atau sedang menyimpan sesuatu tentang rasa di dalam hati. Dalam hitungan tiga detik, di sanalah sebuah harapan terbaca. Sang Bunda juga yang mengajarkan Gadis ini peka tentang hal itu. Karena mata adalah jendela hati. Seperti beberapa minggu pertama si Gadis tidak bisa melihat ke dalam mata Fauzi karena hanya sepintas begitu saja.
Dan hari ini, pria yang tidak banyak bicara itu bahkan melakukannya lebih dari hitungan ketiga melihat ke dalam mata si Gadis, lantas tersenyum.
Buatku, itu sudah lebih dari cukup.




*sudah dipublish ke novel kumpulan cerpen komunitas Penamorfosa 
berjudul "Harap-harap Emas" (April 2014)
"Harap-harap Emas" (April 2014)





Tidak ada komentar:

Posting Komentar