Gadis ini duduk sebagai
seorang karyawan baru di hari pertama. Melangkah santai menuju lift yang akan
membawanya ke lantai 23, bertemu dengan seorang Produser yang akan bertanggung
jawab dan mengawasi kebenaran pekerjaannya. Ramping, bibirnya tipis, alisnya
lebat, hidungnya tidak mancung tapi juga tidak pesek. Dia berhijab, tapi tidak
kuno. Malahan, dia menggunakan high heels dan sangat nyaman dengan celana jeans
yang dipadu atasan blazer. Dia tidak begitu cantik, tapi tiap kali melintas di
keramaian, orang-orang akan memandangnya lebih dari tiga detik.
“Hai. Selamat pagi,”
sapanya saat bertemu dengan si Produser yang hendak ditemuinya. Mereka bertemu
di dalam kotak besi otomatis ini.
Produser yang bertubuh
jangkung itu menoleh, lalu tersenyum. Gadis ini menyodorkan tangan sebagai
salam perjumpaan secara formal, terhitung sejak hari ini. “Hei, pagi,” dia
menyambut tangan ini, namun sejenak lelaki itu melirik jam tangannya. “Good,
nggak telat ya.” Mahesa namanya, kemudian tersenyum.
Pintu lift terbuka,
Produser dan Gadis yang kini resmi jadi asistennya ini sudah sampai. Melangkah
pasti bersama, melintasi lift sebelah yang juga baru saja terbuka. Tampak
seorang teman menyapanya akrab, bahkan mereka langsung membuka perbincangan
tentang pertandingan Real Madrid vs Barcelona tadi subuh. Sementara Gadis ini
berjalan sendirian di belakang mereka dan melarikan matanya untuk memandang ke
arah manapun yang disuka. Termasuk melihat pintu lift yang hampir bergerak
menutup kembali. Sepasang mata di pojok kotak besi, di balik keramaian itu,
mata mereka beradu pandang. Langkahnya berhenti, menatap lurus pada sosok pria
itu yang tampak hampir tersenyum. Namun, baru sekejap, pintu lift benar-benar
tertutup rapat dan perangkat katrol itu melanjutkan perjalanannya ke lantai
yang lebih tinggi.
“Hei,” terdengar
jentikan jari yang membuyarkan lamunan si Gadis.
“Sorry,” Gadis ini
tersontak pelan lalu tertawa ringan sebentar.
Mahesa melanjutkan,
menjabarkan apa saja yang akan dikerjakan Gadis yang sebenarnya tidak punya Basic Broadcasting ini. Namun, mengandalkan kepandaian
merangkai kata menjadi sebuah naskah dan skrip cerita, Gadis ini tampak patut
untuk diperhitungkan, sebagai pekerja tulis atau bahasa broadcastingnya Script
Writer. Dan, pastinya di bawah kordinasinya. Sambil berjalan, Mahesa
mengenalkannya pada seluruh karyawan di lantai 23.
“Ini Gadis. Dia akan
pegang program musik,” kata Mahesa. Ya, Gadis yang sedang dibicarakan sedari
tadi adalah aku. Seraya menjabat tangan mereka satu per satu, mataku
mencari-cari sesuatu. Tepatnya, mencari tatapan dan senyuman yang sama, milik
seseorang yang tadi pagi tak sengaja saling pandang di dalam lift. Loh? Kenapa
bayangan senyum sekilas itu bisa melekat kuat di ingatanku? Padahal sudah
hampir setengah hari berlalu. Aku mentertawakan diri sendiri dalam hati. Ini
namanya godaan di kantor baru. Biasalah itu terjadi di lingkungan kerja yang
masih terasa asing. Mencari suatu titik nyaman dimana itu akan membuat kita
betah berlama-lama di tempat ini. Setidaknya, itu menjadi sebuah harapan untuk
bertahan di dunia kerja, sedikit lebih lama.
Sampai kembali berkutat
dengan pekerjaan baruku pun, senyum pria itu masih saja menari-nari di awangku.
Membuatku tertawa sendiri, namun segera kembali serius mencari data informasi
tentang musik korea. Bukan kegemaran, tapi tuntutan pekerjaan. Masih terasa
aneh, bahkan sulit. Tapi kesulitan itu yang menuntunku untuk membaur pada
karyawan lainnya yang sudah lebih dulu paham. Bagaimana rasanya mencari data
mendetil personil boyband korea yang sangat ramai diperbincangkan, sementara
selama ini yang menarik minatku selama ini hanyalah Bahasa Inggris Amerika
maupun British, Jerman dan Sastra Indonesia. Atau, pada saat harus mencari data
personil tersebut, wajib untuk hapal minimal tahu, dimana letak perbedaan wajah
mereka. Sementara sekelebat, wajah penyanyi pop korea itu, semuanya sama…atau
ya, beda tapi tipis saja. Belum lagi, mendengarkan bagaimana gaya bermusik
mereka dengan bahasa negaranya itu, sementara yang aku suka adalah jenis musik country dan semua yang dilantunkan akustik
natural? Sudahlah, tidak perlu banyak mengeluh, anggap saja ini tantangan
hidup. Hmm.
Jam bubar kantor, tidak
sabar aku ingin sampai di kosan dan berbaring tidur hingga kembali lagi ke
ruangan ini besok pagi. Lift kelihatan ramai pastinya. Ya, inilah hiruk pikuk
ibu kota. Semua orang seolah berlomba untuk sampai di rumah masing-masing atau
terburu-buru karena sudah ada janji di coffee shop dengan relasi sepulang
kerja. Aku, seorang perantauan sebatang kara di Jakarta. Keluargaku ada di
Balikpapan, kota kecil yang cukup berkembang di bagian Kalimantan Timur. Dua
kakak, dua keponakan, dan Ibu yang paling kusayang. Ayahku, sudah meninggal
setahun yang lalu. Peristiwa yang membuatku harus angkat kaki sejenak dari kota
ini, demi amanah keluarga yang menintaku untuk menenangkan Ibuku. Dulu, aku
sempat bekerja di sebuah stasiun televisi nasional di Jakarta, tapi kemudian
aku rela meninggalkan semua karir yang sudah kubangun selama 2 tahun, demi
permohonan sang Bunda. Namun, percayalah, segala sesuatu yang dipaksakan tidak
pernah terasa indah, meskipun terlihat cukup sempurna. Demikian yang terjadi
padaku selama hampir setahun aku bekerja di kota kelahiranku itu. Kupikir,
hanya beberapa bulan pertama saja terasa hambar.
Tapi ternyata kehampaan
itu terus berjalan sampai di bulan ke 10, yang kemudian membuatku mantap untuk
mengundurkan diri. “Aku bisa melakukan pekerjaan ini. Tapi hatiku tidak
mencintai pekerjaan ini,” begitu kataku saat curhat dengan seorang sahabatku di
kota Jakarta ini. Kala itu, aku bekerja sebagai seorang wartawan surat kabar
harian. Menantang bahaya, menghapus angan-angan bersantai di akhir pekan, dan
jangan berharap tidur nyenyak. Bahkan, untuk bermain dengan keponakan,
berbincang lama dengan ibuku saja tak sempat. Tiba di rumah sudah pukul 12
malam, sementara setiap pagi aku selalu bangun terburu-buru karena sudah ada
janji dengan pejabat-pejabat daerah. Aku bisa, berani, dan sanggup. Tapi perasaanku
tidak bisa dibohongi, begitupun riak wajahku yang kian tak seceria biasanya.
Ibu menangkap raut senyumku yang beberapa minggu terakhir seperti terpaksa. Dia
mengajakku bicara empat mata, di hari kedua beliau dirawat di Rumah Sakit
karena darah tinggi dan deteksi sakit Jantung. Saat itulah dia sadar, aku tak
kunjung masuk kerja, karena biasanya jam 7 pagi, aku sudah bangun dan melajukan
motor menemui narasumber. Atau, misalnya tiba-tiba keesokan hari aku harus
berada di Bali, bisa juga besoknya ada di Surabaya, malahan Lombok, mengikuti
kemana para petinggi daerah itu berkegiatan. Bukan karena hanya aku ingin
memprioritaskan kesehatan Ibu, tapi aku juga sudah resmi mengundurkan diri. Aku
lebih lega, karena dengan begitu, aku bisa mencurakan seluruh waktu untuk
menjaga beliau, sampai kuat kembali.
“Kamu nggak kerja?”
tanyanya.
“Udah ijin. Nggak
apa-apa, aku di sini aja sama Ibu. Tenang,” jawabku, melempar senyum padanya,
lalu menyuapinya sarapan, nasi dan lauk tanpa bumbu.
Dia tidak mau menerima
sendok makan yang kusodorkan. Malah menatapku dalam. “Lihat Ibu, nak.” Pintanya.
Aku menurut. Tak kuasa
aku menahan debar jantungku memandang matanya yang mulai sayu namun masih bisa
tersenyum teduh nan lembut.
“Kenapa kamu berhenti
kerja?” tanyanya.
Aku menghela nafas
pelan. Akhirnya beliau sadar juga. Seorang anak tidak bisa begitu saja
berbohong kepada ibunya. Karena naluri ikatan darah selalu begitu kuat.
“Nggak apa-apa. Nanti
bisa cari pekerjaan yang baru,” jawabku, berupaya menenangkannya.
“Jangan bohong sama Ibu,”
dia menatapku dengan gurat muka yang mulai terharu. Aku menelan air liur di
kerongkonganku yang terasa kering. “Ibu baik-baik aja. Kamu nggak perlu
berkorban lebih banyak lagi demi Ibu. Cukup ya, nak.” ujarnya. Lagi-lagi,
mataku selalu kalah di detik ketiga tiap kali beradu tatap dengannya.
Aku meletakkan piring di
atas meja. “Ibu ini ngomong apa,” tuturku seraya tak kuasa menahan airmataku
yang menetes di atas kulit ari pipiku.
“Belakangan wajahmu
murung. Kalau memang di Jakarta bisa bikin kamu senyum lagi, Ibu ikhlas.”
ujarnya.
Tentu saja, sontak
membuatku menatapnya. Membiarkan airmataku mengalir lebih deras dan langsung
memeluknya erat.
“Ibu lebih nggak tahan
lagi, ngeliat kamu nggak bisa senyum. Lebih baik jauh terasa dekat, daripada
dekat tapi terasa jauh,” lanjutnya.
Kucium pipinya dengan
hangat.
“Kamu tenang aja. Ibu
baik-baik aja di sini,” ucapnya.
“Janji ya?” pintaku.
“Ibu kan anak tentara,”
jawabnya, membuatku tertawa.
“Aku cucu tentara,”
balasku.
Restu itu yang kubawa
sebagai modal untuk kembali meraih mimpi dan harapanku sebagai seorang penulis.
Menulis jenis apapun, berusaha kujajal tanpa pilih-pilih. Meski selalu ada
tantangan baru, tapi aku mau belajar. Karena aku sangat suka menulis, terutama
mengarang. Lantas, kenapa pekerjaan sebagai wartawan tidak diteruskan? Padahal,
itu juga menulis kan? Ya, jawabannya ada pada kata hati tiga detik. Sederhana.
Semakin banyak orang yang bertanya, “Kamu suka jadi wartawan?” sebelum detik
ketiga, aku selalu menjawab dalam hati. “Aku bisa, tapi aku tidak mencintai
pekerjaan ini.” Kemudian pada saat orang lain bertanya, “Kamu suka mengarang
cerita novel atau film?” maka sebelum detik ketiga juga, dalam hati aku akan
menjawab. “Ibarat legenda sangkuriang, diminta menciptakan cerita 100 lembar
dalam semalam, aku akan melakukannya dengan senang hati.”
***
Hari-hari kulalui,
menikmati pekerjaan baru. Menyambut kembali harapan yang sempat kurasa sirna.
Banyak hal yang amat tak ternilai harganya saat kuceritakan pada Ibuku di
rumah, lewat telepon selular. Aku punya weekend,
bisa tidur nyenyak, bertemu dengan orang-orang baru yang berpola pikir terbuka,
dan yang paling penting, aku bisa lebih sering berbincang dengannya kapanpun
aku mau.
Hari ini, jadwal shooting taping pertamaku dengan para crew yang bermarkas di lantai 27. Aku
menyudahi telepon dengan Ibu pagi ini, saat melihat tiga orang yang tampak
asing sedang menyetel peralatan kamera dan lampu kino. Saat ponsel kuselipkan
di kantong celanaku, Mahesa datang dan mengenalkan kami. Aku berjabat tangan
dengan mereka. Selalu, cukup tiga detik saja untuk bersalaman dan tersenyum
ramah. Tapi tidak dengan seorang yang malah asik menyetel settingan kamera. Dia belum
belum menoleh sama sekali, tapi mataku tidak mau bergeser satu mili pun dari
sosoknya. Rambutnya gondrong sebahu dan posturnya tidak begitu tinggi.
Jantungku rasanya berdebar tidak normal. Haha, ini hanya kiasan. Aku tidak
sedang sakit. Mungkin ini pertama kalinya lagi, setelah setahun aku tidak
bersentuhan dengan aktivitas ini. Grogi sekaligus senang, tepatnya.
Mudah-mudahan aku masih ingat bagaimana cara melakukannya.
Di tengah break shooting untuk berganti segmen, Mahesa meminta
pendapatku untuk mengubah angle kamera supaya menjadi lebih ceria dan
tidak kaku. Maka berdiskusi sebentar hingga kemudian, “Bro, gimana kalo nanti angle host, lo mulai zoom out dari Cue
Card yang ada di tangan si
host,” ujar Mahesa pada si cameraman yang spontan menoleh.
Aku mematung. Si
Gondrong itu menoleh sejenak. Dia. Si pemilik mata itu. Yang sudah beberapa
minggu ini kucari-cari, kini ada di sebelahku, kurang dari 2 meter. Ah,
benar-benar menoleh sekilas saja, lalu menurut pada usulan kami. Aku berupaya
menenangkan diri, menutupi grogi dan berusaha tidak salah tingkah sampai shooting ini selesai. Tiap kali aku
mengungkapkan pendapat, dari ujung mata aku bisa menangkap dia selalu menoleh
padaku sekilas. Hanya satu detik!
Hingga selesai, dan
akhirnya semua peralatan dimatikan, aku masih terpaku dari tempatku berdiri. “Shootingnya
udah kelar,” kata Mahesa, mengajakku kembali ke meja kerja. Aku menoleh,
mendapati si Gondrong yang sangat pendiam itu tersenyum, kemudian pergi begitu
saja. Ah, lagi-lagi hanya sedetik! Cepat sekali! Aku menghela napas, lalu
mengikuti langkah Mahesa.
Tahu? Sepanjang hari,
aku dipadati banyak agenda kegiatan, membuatku bergerak kesana kemari,
menyambukan pesan dari divisi grafis ke editor, mengerjakan skrip sambil
bertanya pada asisten lainnya, juga mengecek puluhan halaman koleksi video klip
untuk dirangkai menjadi playlist di televisi. Tapi aku mengerjakannya sambil
sesekali tersenyum tiba-tiba. Sebagian karyawan lain mungkin berpikir aku orang
yang ramah, sebagian lagi bisa saja menebak aku masih bersemangat, dan
kebanyakan pasti menganggapku sinting. Bagaimana tidak, kalau sesekali dengan
mudahnya pria yang belum kuketahui namanya itu, senyumnya melintas begitu saja
dibenakku.
Begitu seterusnya,
sampai sudah masuk bulan kedua aku bekerja di kantor ini. Aku bisa berbincang
dengan beberapa crew cameraman sampai mulai menghapal nama mereka satu per
satu. Aku bisa menghitung dan selalu tepat. Mereka akan menatapku selama 2
detik, dan aku akan mengalihkan pandangan di detik ketiga. Kecuali dia. Sampai
hari ini, aku belum juga tahu namanya, padahal sudah beberapa kali kami bekerja
bersama dalam satu studio. Bahkan berjarak antara 1 sampai 2 meter saja.
Kuceritakan kebodohanku
yang membungkam ini pada ibuku, beliau hanya tertawa dan tidak berkomentar.
Tidak menyelesaikan masalah.
***
Masuk di bulan ke tiga,
aku inisiatif mencari tahu siapa nama pria yang sukses membuatku menoleh
berkali-kali itu. Di kerumunan saat crew sedang break, aku bertahan, berharap
seseorang akan memanggil dia sampai menoleh. Dengan begitu aku bisa tahu siapa
namanya. Setengah hiruk pikuk itu, kudengar nama “Krisna” disebut. Oke,
bermodal ragu, kuingat nama itu dan kucoba untuk berincang dengan seorang
kawan, si Aco yang bermarkas di lantai 27. Lantas kutitipkan salam, diakhir
perbincangan ringan dengannya. Salam, untuk Krisna.
Masuk di bulan ke empat,
aku baru menyelesaikan shooting
taping dan menunggu data yang
sedang ditransfer ke hardisk eksternal untuk nantinya aku serahkan ke editor
video. Aku duduk di kursi di depan studio, yang biasanya digunakan untuk menunggu
on air dan acara live berlangsung. Aco muncul bersama beberapa crew lainnya. Dia melihat keberadaanku,
lalu mendekat dan bicara pelan. “Itu yang namanya Krisna. Udah gue salamin,”
katanya sambil memandang ke arah seorang pria betubuh kurus dan berambut klimis.
Aku menepuk jidatku
pelan. “Co, salah orang!” ujarku pelan. Spontan dia tertawa kencang. Kami
terbahak, membuat banyak orang menoleh. Pas, saat itu VTR Person memecah
keheningan. “Udah selesai nih,” katanya dan memberikan hardisk itu ke tanganku.
“Terima kasih,” ucapku
dan segera pergi begitu saja. Jadi selama hampir sebulan ini, aku salah kirim
salam. Aku sangat siap menertawakan diriku sendiri tiap kali bertemu dengan si
pemilik nama Krisna itu.
Beberapa hari kemudian,
seperti biasa, selesai shooting,
aku menunggu di kursi. Sambil berbincang dengan beberapa orang yang bersantai,
karena hari juga sudah sore. Bookingan
studio dariku adalah jadwal terakhir para crew hari ini. Aku pun sedang tidak ingin
terburu-buru. Asik bercanda tawa dengan Marta, Krisna, dan beberapa crew lain yang belum kuhapal namanya,
muncul si Gondrong itu dengan wajah yang masih berair dan rambut yang lembab.
Dia pasti akan menunaikan sholat Magrib. Ini bukan pertama kali aku melihat dia
selalu sholat tepat waktu. Saat Adzan, dia pasti menghilang dari tengah
keramaian, tahu-tahu muncul dari arah toilet dengan sebagian wajah yang dibasuh
air. Pernah, aku berpapasan dengannya saat masuk ke dalam lift. Dia bersama
teman-temannya selesai sholat Jumat di Basement. Dia tersenyum padaku, tanpa
disadari teman-teman di sebelahnya. Aku segera masuk menjejalkan diri di
keramaian orang di dalam lift yang membawaku ke lantai 23. Kubiarkan dia
melihat punggungku saja, jangan sampai dia melihatku tersenyum sumringah sampai
pipiku memerah. Tahu, aku paling suka melihat aura-aura para kaum nabi Adam
usai sholat Jumat. Karena, mereka terlihat bersih dan menggetarkan hati
sebagian perempuan yang beranggapan sama denganku.
“Tumben ada di sini,”
sapa suara.
“Nunggu transferan.
Macet hardisk-nya,” jawabku santai seraya menoleh. Hei, dia menyapaku. Iya, dia
yang kuincar berbulan-bulan ini. Dia sudah selesai sholat rupanya.
“Oh, iya tunggu aja.
Semua yang ada di sini nggak gigit kok. Apalagi Krisna. Dia orangnya
bertanggung jawab,” katanya sambil tersenyum.
“Kenapa tiba-tiba jadi
ngomongin tanggung jawab?” batinku bingung. Atau gara-gara dia tahu aku pernah
menitipkan salam untuk Krisna, si VTR Person itu?
Sambil memasang jaket,
dia terus bicara yang entahlah kemana arahnya. Aku malah sibuk memperhatikan
dia, sebisaku menahan senyum. Sampai dia kembali duduk sambil memasang sepatu,
di sebelahku. Tepat di sampingku, tidak sampai satu meter. Jantungku berdebar
kencang, kemudian dia bicara lagi pada Krisna. Entah apa yang dibicarakannya,
tak kudengarkan karena aku sibuk menikmati indah garis wajahnya, gerak
bibirnya, dan matanya yang teduh. Tiba-tiba dia menoleh padaku saat sempat
kudengar kalimat terakhir tentang refleksi kaca cerminan diri. Mendadak
terdengar puitis sekali.
“Ya kan?” tanyanya,
menoleh padaku. Sekejap buyar isi kepalaku, melihat matanya benar-benar
menatapku dalam jarak dekat. Indah sekali.
“Hmm?” aku menahan agar
mataku tak berkedip saat beradu dengannya.
“Kok kamu nggak nge-met
(ngerti)? Dari tadi bengong?” tanyanya.
Dalam hati kubilang,
“Kamu manis sekali, sampai aku bingung apa kakiku masih menapak di tanah, atau
sudah melayang entah kemana.”
“Otakku nggak sampe,
sama bahasa filosofi sastra kalian,” jawabku bohong, memasang wajah selugu
mungkin. Gaya Sastra? Puisi? Kisah Cinta? Kalau ada nilai ujiannya, aku pasti
selalu dapat nilai 9.
Crew lain mulai bermunculan lagi. Aco
mendekat padaku, saat si pendiam itu pergi entah kemana meninggalkan tasnya di
sebelahku. “Dia orangnya,” bisikku sangat pelan dan hati-hati pada Aco.
“Ooalah…” dia membuat
beberapa orang menoleh pada kami. Aku segera mengalihkan pembicaraan, bertanya
ke teman yang lain tentang jadwal shooting
live atau apalah, yang
penting mereka tidak lagi menoleh padaku. Selagi mereka menjawab serius tapi
santai, Aco berbisik di sebelahku. “Kalo yang itu, Fauzi namanya.”
Aku tersenyum sumringah
dan mengangguk seperti baru menang quis. I
got it! Kali ini aku pasti benar. “Salam ya,” ujarku pelan.
Kemudian melihat Krisna
selesai meng-copy. Segera kuambil dan aku beranjak kembali ke ruanganku. Hatiku
senang. Ada harapan untuk terus melanjutkan kisah ini.
***
Saat aku ditugaskan
untuk membooking studio
lagi, aku masuk ke ruang on air, dimana aku bisa melihat langsung shooting live dari balik kaca transparan. Dari balik
kaca tembus pandang inilah kemudian kulihat di kejauhan, di sebelah kamera,
Fauzi menoleh menyadari kehadiranku. Dia tersenyum lebih lebar dari biasanya,
membuatku salah tingkah. Tentu saja dia terlihat lebih manis sampai aku harus
menyembunyikan wajahku yang rasanya mulai hangat.
Usai bicara dengan
Kepala Studio, aku memberanikan diri menoleh pada Fauzi sebentar. Kubalas
senyumnya dan kulihat dia masih tersenyum dari tempatnya duduk. Sebelum ada
yang menyadari ‘apa yang sedang kami lakukan’, aku segera bergegas pergi.
Beberapa hari kemudian,
aku shooting tanpanya. Dia hanya menonton dari
balik kaca, tak bisa bohong bahwa sesekali dia memperhatikan aku. Aku nyaris
kehilangan konsentrasi karena wajahnya yang sedang tidak tersenyum saja, bisa
membuatku kelabakan. Apalagi kalau dia sampai tersenyum lebar. Oh Mama… Mau
mati rasanya. Umm, ini berlebihan.
Usai shooting, aku kembali ke
ruangan. Aco sempat berpesan sebelum pintu lift tertutup. “Udah gue salamin,
tiap hari,” ucapnya buru-buru, menghilang dari balik pintu besi. Mumpung hanya
ada aku sendirian di dalam lift, aku nyengir lebar dan nyaris tertawa. Agak
memalukan.
Aku mengcopy ulang materi tadi ke komputer editor
dulu, baru kemudian membereskan tas dan memasang jaket. Ingin segera berjumpa
dengan si kasur dan adiknya, si bantal. Aku pun menuju lift, menunggu satu dari
empat pintu bisu ini, terbuka untukku.
Saat terbuka, aku
melangkah santai dan tak sengaja malah sibuk memperhatikan ujung kaki sambil
melangkah masuk. Sangat sadar, hanya ada satu orang dalam ruangan berukuran 2x2
meter ini. Kalau aku masuk, artinya hanya berduaan.
“Baru pulang?” sapa
Fauzi. Pintu lift pun tertutup, membawa kami turun. Rambutnya diikat agak
tinggi. Telihat lebih rapi dan mungkin lebih bagus begini. Seperti
pendekar-pendekar Jepang. Ah, biarkan dia melakukan apa yang menurutnya nyaman.
Mau diurai atau ikat, di mataku dia tetap saja manis.
“Iya nih. Pengen cepet
sampe kosan. Terus tidur,” jawabku asal, lalu membalas senyumnya.
“Kok nge-Kos? Bukan
orang Jakarta?” tanyanya.
“Aku aslinya
Balikpapan,” jawabku, berusaha menahan agar percakapan tidak terputus begitu
saja maka aku bertanya kembali padanya. “Kamu kok baru pulang jam segini?” Hmm,
perbincangan mulai lancar nih. Asik.
“Iya, nunggu macet.”
“Ke arah mana pulangnya?”
“Lebak bulus.”
“Ooh. Naik motor?”
“Iya. Aku parkir di
luar. Biasanya temen-temen juga nongkrong dulu, nunggu macet di parkiran
sebelah.”
Kemudian pintu lift
terbuka, kami sudah sampai. Biasanya, keluar dari lift, aku belok kiri,
melakukan hal yang jarang dilakukan karyawan lainnya, yang biasanya belok
kanan, nantinya akan melintas di parkiran mobil. Kupikir, dia akan meneruskan
langkahnya ke kanan, tapi ternyata dia menungguku melangkah pasti kemana akan
berbelok. Dia ikut belok kiri. Hmm, kami kembali melanjutkan percakapan.
“Kamu udah lama di
kantor ini?” tanyaku.
“Aku baru kok. Sekitar 6
bulan.”
“Aku lebih baru. Aku
baru 4 bulan.”
Kulihat dia tersenyum.
“Kamu betah kerja di
sini?” tanyaku lagi.
“Yaa, semua pekerjaan
itu harus disyukuri. Alhamdulillah kalau ada kerjaan tambahan,” jawabnya.
“Kamu dulu kerja di mana?” tanyanya.
“Aku pernah di Jakarta 2
tahun yang lalu di station tv. Tapi setahun kemaren banting stir jadi wartawan
koran. Karena nggak betah, aku balik lagi ke broadcasting,”
kisahku.
“Bukannya jadi wartawan
itu enak, akses masuknya kemana-mana kayak pintu ajaib?” tanyanya membuatku
tertawa singkat.
“Memang sih, wartawan
itu bisa dibilang Warga Negara kelas 1, sejajar sama orang pemerintahan. Masuk
ke mana aja dipermudah… Tapi, balik lagi ke statement bahwa, nggak semua yang dari luar
terlihat mudah itu menyenangkan.”
Dia hanya tersenyum.
Hingga kemudian, sampailah kami harus berpisah di depan parkiran motor. Karena
aku hanya tinggal berjalan kaki menuju kosanku yang dekat dengan kantor. “Dah
Oji,” aku melambaikan tangan.
Dia memberikan senyumnya
lagi, yang lebar dan manis itu.
***
Aku shooting lagi, seperti biasa, kebagian jadwal
terakhir pada jam 3 sore. Hostku belum juga tiba di studio karena masih
terjebak di tengah kemacetan ibu kota. Sambil menunggu aku duduk di pojokan
studio sambil mendengarkan cerita sesekali lucu dari Produser tentang pacarnya.
Mataku sesekali justru sibuk memperhatikan Fauzi yang hilir mudik mengatur
kamera 1 dan kamera 2 untuk kebutuhan beauty
shot sebuah produk. Bukan
programku. Tapi aku senang bisa melihatnya hari ini. Lalu, kulihat seorang
perempuan yang sepertinya juga seorang asisten produksi sepertiku sibuk hilir
mudik. Saat berpapasan dengan Fauzi, perempuan itu memegang pinggang si pendiam
itu. Hilang senyumku seketika. Entah, saat itu, tepat Mahesa membuatku tertawa
saat bilang, “Kadang gue sebel. Kenapa semua Social
Media gue, facebook, twitter,
dikomentarin nggak penting sama cewek gue. Kepo amat. Jadi cemburu buta kan
tuh. Malu gue sama temen-temen gue kelakukan pacar gue begitu,” curhatnya. Itu
sebenarnya tidak lucu, tapi aku berusaha agar kelihatan bahwa itu cerita lucu
dan aku mengeraskan tawaku sedikit. Membuat Fauzi menoleh sejenak lalu
berpaling, tidak tersenyum sama sekali. Ini pembalasan? Bisa jadi.
Entah sampai kapan akan
terus seperti ini. Masuk bulan ke enam aku menyandang status sebagai karyawan
di perusahaan milik bangsa Korea ini. Yang jelas, aku tidak akan membiarkan
diriku terhanyut lagi seperti masa labil dulu. Saat naksir orang, aku niat
caper dan memberikan perhatian yang berlebihan. Kali ini, akibat pengalaman
masa lalu yang menampar bahkan seolah menendangku sampai tersadar, aku berusaha
mendalikan emosi agar lebih stabil. Kubiarkan saja begini, tanpa pergerakan
lebih. Membiarkan segalanya berjalan secara alami tanpa skenario buatan. Hanya
bertemu Fauzi sesekali, kadang tersenyum kadang tidak, bahkan bisa berminggu-minggu
tidak bertemu dengannya sama sekali. Entah sampai kapan begini.
Apa aku harus terus
pasrah menunggu si pendiam itu bicara? Seandainya dia tahu, bahwa sama sekali
tidak mendengarkan kabar tentangnya selama berhari-hari itu, membuatku gelisah kemanapun
aku bergerak. Sementara aku tidak ada kepentingan apapun untuk menjadi alasan
bisa nongkrong di lantai 27. Hingga suatu pagi aku bertemu Aco.
“Oji udah dateng?”
tanyaku.
“Udah, tadi jam 8.
Gimana perkembangan kalian?”
“Nol.”
Dia tertawa. “Lo harus
sabar. Positif thinking. Nih yaa, Oji itu pendiem. Sama cowok aja diem, jarang
ngobrol. Apalagi sama cewek. Ceweknya manis lagi. Mungkin dia grogi.” Dia
menasehatiku. “Gue sampein salam lo tiap pagi. Ojinya cuma cengar-cengir aja,
kayak kuda,” kata Aco.
Aku tertawa mensejajari
langkahnya menuju lift kantor.
***
Aku shooting hari ini. Lagi, tanpanya.
Tapi aku bisa melihatnya
mondar-mandir sebelum dan setelah menunaikan sholat Ashar. Aku merasa senyumku
terasa kaku untuk kuberikan padanya. Seperti sedang memaksa diri untuk berhenti
bermain-main dengan perasaan. Tidak lagi berani berharap banyak. Saat dia tak
sengaja kutangkap basah sedang melihatku dari balik kaca, aku tersenyum tapi
menatap ujung kakiku sendiri, tertunduk, sambil memberikan kode cooling down ke atas kamera master. Aku merindukan
senyum itu.
Lalu, saat break pergantian segmen, dia masuk dan
berdiri di belakangku, seolah sedang asik mengajak Gilang yang memegang kamera
2 bicara komposisi objek. Saat melintas, aku sempat mendengar dia berkata
padaku. “Cameraman baru ya mba?” di saat headset kamera master masih melekat
seperti bando di kepalaku dan mic yang setengah melingkar di pipi kiriku.
Hanya kujawab, “Iya nih”
lalu kembali melanjutkan kordinasi dengan host. Kulirik sedikit, dia tampak
tersenyum. Tak lama kemudian, dia pergi. Kembali menonton dari balik kaca.
“Yaelah bro, kalo mau gantiin Gilang bilang aja. Nggak usah sok-sok bolak-balik
berdiri di belakang Gilang, yang jelas-jelas daritadi anteng berdiri di samping
gue,” batinku nyolot senang.
Saat shooting selesai, satu per satu peralatan dan
lampu kino dimatikan. Kabel-kabel kembali digulung, dan aku melepaskan headset
dari kepalaku. Kulihat Fauzi mendekat padaku, menyambut benda di tanganku ini,
nyaris membuatku salah tingkah. “Asik nih, punya cameramen cewek,” kudengar dia
sempat bilang begitu.
Tapi sekali lagi aku
malah menjawab, “Iya nih” lalu meninggalkannya, mendekati Mahesa yang sedang
berbincang dengan host. Aku hanya tidak ingin terlihat semakin salah tingkah
tiap kali Fauzi memangkas jarak di antara kami.
Sejak hari itu, Produser
memintaku untuk break dan tidak perlu shooting dalam jangka waktu yang cukup lama,
karena kami sedang merancang program baru, menyambut pergantian tahun. Hh, ini
pasti akan membuat jarak kami semakin tebal. Bisa jadi, lebih tebal dari
biasanya.
Aku berdiri di beranda
lantai 23, memandangi warna-warna lampu bertebaran di kota Jakarta dari
ketinggian. Hal kesukaanku, yang juga menjadi alasan aku merindukan kota ini.
Terlintas senyum Fauzi di benakku. Kemudian terpikir, “Cowok pendiem yang sulit
ngobrol sama orang lain, tiba-tiba dia bisa negor dan ngajak ngobrol cewek
duluan di luar kepentingan, artinya bisa jadi cowok itu udah mulai berani
memberontak dirinya sendiri. Dia melakukan hal yang nggak biasa dia
lakukan...Besar kemungkinan dia jatuh hati sama cewek itu, tapi dia nggak tahu
gimana cara memulai komunikasi. Catet tuh!” aku mengingatkan diri sendiri dalam
hati.
Ini tidak bisa
disangkal, bahwa setiap kali aku tidak bertemu dengannya, rindu itu seperti
memukul bertalu-talu ke ulu hatiku. “Kadang, hal yang paling menyakitkan bukan
pada saat harus melepaskan...justru saat kita ingat bagaimana dulu
mendapatkannya dan pernah mempertahankannya sedemikian lama,” begitu yang
terlintas di kepalaku. “Tadinya aku selalu berpikir bahwa orang di sekitarku
cuma orang-orang biasa yang nggak ada artinya. Tapi tahu-tahu pada saat mereka
jauh dan bahkan nggak tergapai, aku justru nggak rela mereka menjauh dan
menghilang. Itu dulu pertama kalinya aku tahu, aplikasi rindu dan jatuh cinta.
Dan saat ini, sepertinya aku sedang mengulangnya.”
***
Aku duduk di kursi di
depan studio, karena Mahesa memintaku shooting untuk melanjutkan materi yang sudah
sejak sebulan lalu tertunda. Aku menunggu si Produser selesai ngobrol dengan
Pak Manager.
“Ngelamun?” sapa suara,
yang aku sudah tahu, ini Fauzi. Duduk di sebelahku.
Hanya ada kami berdua.
Aku tersenyum,
membiarkan diriku bicara apa adanya. “Saya inget kamu. Saya juga nggak tahu
kenapa sejak hari itu saya kenal kamu, saya tiba-tiba jadi kepikiran sama
kamu,” kataku, tak berani menatapnya. “Saya bahkan lupa kapan dan bagaimana
terakhir kali kita ketemu. Tapi saya malah dengan mudahnya ingat semua gerak
muka dan senyum kamu tiap kali mata kita beradu pandang.”
“Apa yang kamu pikirkan
tentang saya?”
“Saya nggak tahu.” Aku
menatapnya menatap matanya sebentar, 3 detik cukup. Dia tampak tersenyum. “Satu
hal yang membuat saya bertahan menuju kamu, padahal masa depan kita masih
abu-abu...adalah di saat saya melihat tiang agama yang kamu bangun. Senyum
teduh kamu yang selalu terlukis indah di benak saya,” lanjutku.
Dia diam sejenak,
menatapi ujung kakinya sendiri, sama seperti yang saat ini juga sedang aku
lakukan. “Saya sebenarnya tidak yakin ini akan berhasil atau tidak. Tapi sejak
pertama kali saya lihat kamu melintas di parkiran motor, pagi itu, enam bulan
yang lalu, susah buat saya untuk sembunyi dan menahan senyum yang rasanya tidak
karuan,” katanya.
Aku memandangnya, belum
berkomentar apa-apa.
“Sampai suatu hari saya
sadar, kita berbeda. Kamu akrab sama semua orang, sementara saya orang yang
paling susah untuk memulai percakapan duluan. Bisa aja, kamu bosan ada di dekat
saya,” lanjutnya. “Atau kamu memang sebenarnya baik dan ramah ke semua orang,
dan saya takut dibilang kepedean,” tambahnya. “Kamu juga kelihatannya
berpendidikan, sedangkan saya cuma seorang cameramen. Bisanya cuma paham
tentang kamera, belum tentu bisa paham sama isi hati orang. Isi hati kamu.”
Aku tersenyum padanya.
“Itu menurut kamu. Di dunia ini tuh nggak ada yang sempurna. Yang ada cuma
bagaimana saling melengkapi di tengah perbedaan yang ada," ujarku.
Dia melihatku, cukup
lama, lewat dari tiga detik.
“Di dunia ini sebenernya
nggak ada kata "sulit" dan "tidak bisa"...yang ada cuma
kamu "mau" atau "tidak" melakukannya,” aku melanjutkan
kata-kataku.
Sementara dia hanya
mendengarkan.
“Di dunia ini nggak ada
pasangan yang sempurna. Yang ada cuma dua insan manusia saling mempertahankan
meski sulit, dan paham bagaimana saling menutupi kekurangan. Makanya, jangan
pernah berani mencintai seseorang kalau kamu aja masih takut melukai hatimu
sendiri.”
Dia kemudian tersenyum,
mengalihkan pandangan matanya dariku.
Aku semakin tak ingin menahan
lebih lama apa yang ingin aku sampaikan. “Kamu sadar nggak, waktu kamu bilang
kalo kamu itu susah memulai percakapan? Setiap kali kita ketemu di sini, kamu
selalu sapa aku duluan.”
Dia tertawa lalu
mengangguk, membenarkan.
“Kalo kamu sadar, semua
cowok di kantor ini nggak ada yang aku aja bicara pake sebutan saya, aku dan
kamu. Ya satu-satunya, cuma sama kamu,” lanjutku.
Dia tertawa lagi lalu
mengangguk, membenarkan.
“Saya nggak berharap hal
berlebihan dari kamu. Cukup kamu jujur aja sama diri sendiri, itu sudah cukup
buat saya,”
Dia kembali melihatku,
cukup lama, lewat dari tiga detik.
Detik berikutnya, suara
langkah berbondong-bondong para crew memasuki area studio. Aku bangkit dan
segera menghampiri host untuk briefing.
Shooting kali ini dia bersamaku, bukan Gilang
seperti biasanya. Aku tersenyum padanya yang kemudian membalas.
“Oke, take ya. Ready….
3, 2, 1.” Aku melanjutkan pekerjaanku, dia melanjutkan pekerjaannya.
Ada apa di balik arti
dari tiga detik? Sadar atau tidak, setiap orang yang beradu pandang selama 3
detik dan lebih dari itu, maka saat itulah perasaan seseorang bisa diselami.
Entah, sedang berbohong, marah, sedang sedih, atau sedang menyimpan sesuatu
tentang rasa di dalam hati. Dalam hitungan tiga detik, di sanalah sebuah
harapan terbaca. Sang Bunda juga yang mengajarkan Gadis ini peka tentang hal
itu. Karena mata adalah jendela hati. Seperti beberapa minggu pertama si Gadis
tidak bisa melihat ke dalam mata Fauzi karena hanya sepintas begitu saja.
Dan hari ini, pria yang
tidak banyak bicara itu bahkan melakukannya lebih dari hitungan ketiga melihat
ke dalam mata si Gadis, lantas tersenyum.
Buatku, itu sudah lebih
dari cukup.
*sudah dipublish ke novel kumpulan cerpen komunitas Penamorfosa
berjudul "Harap-harap Emas" (April 2014)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar