Senin, 24 Desember 2012

Senandung Rindu di Perbatasan Kaltim



CERPEN : 
Senandung Rindu di Perbatasan Kaltim
Wartawati Idealis dan Tentara Nasionalis

Blackberryku berdering nyanyian akustik merdu, di layar muncul nama Kesya. Merekah senyumku melihat layar ponsel menunjukkan wajah hitam manis dan pipi tembemnya. Haha, mungkin sudah beberapa bulan aku tidak mendengar suaranya yang berkekuatan mesin kereta api, cepat dan berisik.
Heh, nona wartawan. Ngilang kemane aje lo? Lo lupa sama kita di mari? Sombong amat kagak ada kabar sekali-kali kemari,” oceh Kesya dengan logat betawi modern.
Ah elah, sombong apaan sih. Pan lo yang katanya sibuk. Gue mah standby aje kalo lo mau curhat,” balasku sambil meniru intonasinya yang agak meninggi.
Terdengar suara tawa gadis sebayaku itu di seberang telepon, membuatku ikut tertawa, sambil sesekali melihat ke arah aspal jalan di bawah tiang yang kupanjat, saat ini.
Lo harus kosongin jadwal minggu depan buat gue. Kagak pake banyak alesan penipuan sibuk, lo harus ke Jakarta,” katanya tiba-tiba.
Kenapa emang? Kangen banget sama gue? Kangen aja, apa kangen banget?” kugoda dia.
Astaga! Lo lupa, kalau gue mau nikah sama Ragil, sabtu depan? Ck, Dania, kan gue udah tag di twitter, mindtalk, facebook juga,” nada suaranya terdengar gemas dan tampaknya serius.
Mimik wajahku berubah ikut serius, sempat menghentikan gerakan kakiku yang sudah menyerupai monyet kota. “Oh, iya. Inget kok, jadi lo nelpon gue cuma mastiin gue dateng kan? Iye, gue dateng lah. Pernikahan langka sepanjang masa mana mungkin gue lewatin,” kataku supaya dia tenang.
Bener ye, nyai. Meskipun lo bilang pernikahan langka sekalipun, kagak masalah. Yang penting lo dateng saksiin gue di pelaminan sama Ragil. Janji?” ujarnya yang tumben pasrah, setelah kuejek bercanda.

Luluh juga aku mendengar dia memohon. “Oke, sabtu depan, jadwal gue bisa geser. Cuma wawancara pejabat, bisa dihandle lah. Gue janji Kes. Gue bakal dateng, meskipun nanti gue kagak bawa pendamping ke acara lo,” kataku bersemangat.
Kok lo curhat sih, nyai? Kalo jomblo kagak perlu ajak-ajak gue. Gue mah udah pernah, bosen,” suara Kesya kembali berkekuatan.
"Ah, belagu," tampikku.
Kemudian kami tertawa bersama, memecah suasana jalanan yang tidak lagi kupedulikan. Riang rasanya hatiku akan berjumpa lagi dengannya dan kawan-kawan lainnya setelah dua tahun lamanya, empat hari lagi.

Hup! 
Mendarat sepasang kakiku dengan kompak, menjajak aspal jalan, seusai memanjat tiang reklame setinggi tiga meter di sebuah jalan besar di dekat lampu merah. Tabrakan sebuah truk kuning dengan mobil tronton di jalan simpang empat, sudah berhasil dikendalikan oleh polisi laka lantas. Untung saja aku datang tepat waktu lalu dengan sigap dan sok berani, langsung memanjat ke atas tiang jumbo di dekat pos polisi, yang menghadap ke tempat kejadian perkara (TKP). Lebih dari seperempat jam memeluk tiang besi yang sekiranya berdiameter 30 sentimeter itu, hampir sama seperti lari sprint lima kilometer sambil dikejar pimpinan redaksi.

Dania, tulisanmu bagus. Saya suka. Tapi...,” itu yang dikatakannya setiap pagi saat menegurku. “Bahasamu ini kurang berani. Kamu wartawan! Tidak perlu ragu kalau memang harus menentang orang pemerintahan yang tidak benar kerjanya. Itu uang rakyat taruhannya,” dia berkata tegas dan lancar. 
Aku hanya diam membisu kalau sudah begitu katanya, pimpinan berita Kaltim News, salah satu media cetak harian terpopuler di pulau Borneo ini.

Nyaris dua tahun aku menjalani profesi yang memang terkenal menantang bahaya, apalagi kalau melihat diriku sebagai perempuan. Usiaku juga sudah bukan remaja lagi, seperempat abad, dua bulan lalu. 

Bersama motor kesayanganku, melintas kota kelahiranku yang baru saja kulihat lagi setelah lebih dari lima tahun kutinggal merantau di Jakarta. Awalnya cukup berat menjalani pekerjaan ini, apalagi aku harus meninggalkan sahabat-sahabatku di kota Jakarta. Mereka selalu memberiku kekuatan moral untuk bertahan di kota megapolitan sejuta godaan glamour itu. Kini aku kembali ke kota minyak ini, karena mutasi kantor pusat. Jelas, harus professional.

Melangkah santai aku keluar dari ruang redaksi, ruang kerja para wartawan dan berita diolah dari lapangan. “Dania,” terdengar suara yang tidak asing di telingaku. 
Aku menoleh ke sumber suara yang tak lain, suara pak Kusnul, pimpinan redaksi. “Ya, pak,” jawabku lalu menghampirinya.
Kamu tidak lupa kan, minggu depan kamu evaluasi tahunan?”
Aku mengangguk mengiyakan pertanyaannya.
Bagus. Sebelum itu, kamu saya tugaskan ke perbatasan Kaltim di Malinau ya. Berangkat besok pagi sekali. Tugasmu pantau saja, bagaimana kabar di daerah sana. Petik apa yang menarik, bawa pulang,” paparnya.
 Seketika aku terdiam. Rasanya, untuk menelan air liur di ujung kerongkongan saja sulit. 

Perbatasan? Di benakku langsung tergambar situasi, jauh dari keramaian, kebisingan kendaraan, pepohonan lebat, rumah beralas tanah dan berdinding kayu, air sungai yang dipakai beramai-ramai sekampung, juga tidak ada listrik! Berangkatnya saja, membutuhkan waktu dua hari. Belum lagi membutuhkan waktu beberapa hari untuk membaur bersama penduduk. Bahkan memakan dua hari pula, untuk kembali ke kota ini. Itu yang kuingat saat wartawan senior kantor pernah berbagi cerita saat dikirim tugaskan ke pedalaman di perbatasan Kaltim.
Namun yang lebih lagi membuatku benar-benar terbisu, belum genap empat jam lalu aku berjanji pada Kesya untuk menyaksikan pernikahannya dengan Ragil, produser muda yang ditaksirnya duluan sejak lulus kuliah.
Seharusnya saya sudah kabari kamu sejak kemarin. Tapi saya kemarin masih di Samarinda dan baru ingat sekarang,” lanjut pak Kusnul.
Aku mulai gelisah, hanya memberikan senyum tipis.
Tenang saja, semua sudah diurus. Tiket pesawat, akomodasi, pokoknya semuanya sudah clear. Tinggal berangkat,” katanya, sambil menyodorkan amplop putih.
Ah, benar katanya!
Sambil tersenyum dia berkata, “Saya percaya, kamu sudah bisa jadi redaktur sepulang dari sana. Promosi saya buat kinerja kamu,” dan ditepuknya lenganku pelan, lalu bergegas pergi.
Aku menerima amplop itu, tanpa tahu harus berkata apa, selain, “Siap, komandan,” lalu menghela nafas lesu, meninggalkan kantor.
***

Perjalanan pertama belum terasa melelahkan, sampai ke kota Tarakan, di kampung Data Dawai, menggunakan pesawat charter dengan waktu tempuh perjalanan selama 45 menit, yang hanya bisa menampung muatan sebanyak 300-400 kilogram, atau maksimal 5 orang. Bersama tiga orang anggota TNI Kodam VI/Mulawarman yang juga bertugas untuk tinggal beberapa waktu di pedalaman, kami melalui jalan darat, tentu saja dengan mobil lapangan -double cabin-. Kami menempuh resiko jalan berlubang, berlumpur, terjal, dan rusak, hingga sampai di sebuah kampung. 

Dari sana kemudian naik kapal, dan menitipkan mobil di kampung. Setelah kapal tersebut sampai di Long Bagun, kami menginap di tenda, baru kemudian melanjutkan perjalanan melewati arung jeram udang bertikungan tajam. Baru setelah itu, ada pos yang menyediakan kapal kecil, sehingga kami harus bertukar ke kapal kecil tersebut untuk menuju Tiong Ohang, kabupaten kecil kampung Long Apari. Aman rasanya bepergian bersama tiga pria bersenjata ini. Ada satu yang tampan. Ups!

Panjang perjalanan sudah memakan waktu lebih dari 30 jam. Dan aku semakin pasrah, melihat ponselku tak menangkap sinyal sama sekali, belum juga kukabari pada Kesya aku tak bisa menghadiri pesta bahagianya. Masih sekali lagi kapal lagi untuk bisa tiba di Ulu Bahau. Daerah tujuan yang kutuju. Setelah dari Long Pujungan mudik lagi ke arah hulu barulah tiba di Long Alango. Wilayah kecamatan, yang juga merupakan satu kawasan adat suku dayak Kenyah yang dipimpin seorang Kepala Adat Besar Ulu Bahau. Ulu Bahau, salah satu daerah perbatasan antara Indonesia dan Malaysia di Kecamatan Hulu Bahau, Kabupaten Malinau, Kalimantan Timur.

Kubongkar bekalku, memasang lensa tele nikkor berjarak 70-300 meter ke depan. Berjalan kaki kami menyusuri jalan-jalan setapak menuju rumah kepala adat. Sesekali aku mengambil gambar, langsung merangkai alur cerita perjalanan di kepalaku yang rencananya akan kubuat menjadi berita indepth feature

Kesukaanku pada alam mampu merobohkan kegelisahanku pada pesta Kesya, meskipun masih saja terhantui rasa bersalah. Tak henti kuucapkan dalam hati, “This is amazing. Shit, Ini luar biasa,” sampai bulu kudukku naik turun. Ini pengalaman pertamaku tugas ke perbatasan Indonesia-Malaysia.

Tidak seperti bayangan negatifku sebelumnya. Penduduk di sini ramah. Mereka menyuguhkan segala macam sambutan dan suguhan makanan dan buah-buahan. Terutama bagi aku dan ketiga tentara lainnya yang juga pertama kali diterjunkan kemari. Usai berkenalan dengan petinggi desa, dan beberapa warga yang ikut hadir di pendopo desa, aku melepaskan diri dari rombongan. Memulai tugasku, merangkum situasi menjadi sebuah kabar terkini tentang wilayah yang selama ini masih menjadi kontroversi yang tidak ada habisnya.

Umumnya, di perbatasan, 90 persen penduduk, mata pencariannya sebagai petani. Mereka menggantungkan hidup pada ladang. Namun, ada juga yang menggantungkan hidup pada hasil kerajinan. Kehidupan di sini masih natural, alami, sangat menyatu dengan alam. Jarang sekali ada hotel atau penginapan, kamar mandinya pun di beberapa tempat, masih tidak punya di sekitar rumah. Sehingga sungai adalah media pengganti kamar mandi.

Berdiri aku di atas batu besar, menghadap lurus ke aliran sungai, mengantar kepergian matahari tenggelam di ufuk timur. Menyalang mata kananku membidik pemandangan dari balik lensa. Berkali-kali kulepas dan pasang kembali kamera di depan mataku, menyaksikan langsung salah satu sunset terindah yang pernah kulihat, selain di Pantai Senggigi, Lombok, Nusa Tenggara Barat tahun lalu. Tak sengaja kutarik senyumku begitu lepas, saking mengagumi anugerah Tuhan yang tampil saat ini.

Usai itu, aku berbalik badan berniat kembali ke rumah salah satu penduduk yang kutumpangi untuk bermalam. Terhenti langkahku, melihat situasi kurang dari 50 meter di depanku. 

Seorang tentara sedang bermain sepak bola bersama anak-anak yang sekiranya berusia kurang dari 10 tahun. Terdengar tawa riang di balik gerakan-gerakan lincah mengoper dan menendang ke sana kemari. Senyumku merekah lebar begitu kusadari, tentara itu mengikat sarung di pinggangnya, dan masih mengenakan kopiah di kepalanya. Aku melirik jam dan memahami, pastinya tentara itu usai menunaikan sholat maghrib. Lalu dia melihat ke arahku dan tersenyum. Manis!
***

Hari kedua. Meskipun dalam pergaulan sehari-hari masyarakat yang berasal dari keturunan bangsawan (paren) maupun yang berasal dari keturunan masyarakat biasa (panyin) dapat berbaur dan hidup berdampingan secara egaliter, namun dalam penerapan budaya tertentu, masyarakat Kenyah di Ulu Bahau masih sangat memperhatikan mana yang termasuk dalam keturunan bangsawan atau bukan. Hal ini terlihat jelas dalam penelusuranku tentang penggunaan Saung Seling dalam kehidupan sehari-hari. Bagi masyarakat yang merasa dirinya bukan keturunan bangsawan, jangankan memakai, untuk membuatnya pun mereka merasa tak pantas. Selain terkena sangsi sosial juga akan terkena sangsi adat dari leluhur yaitu "Parit" atau bisa mendapat "Bala".

Di kesunyian malam, hatiku bertarung melawan rasa rindu yang hebat. Entah berapa bilangan detik yang bisa kurangkai untuk menjahit memori bersama teman-teman seperjuanganku dulu di Ibu kota. Teringat aku saat kali pertama bertemu Kesya, Degina, Hamzah dan Wahyu, di kampus swasta, jurusan berbeda. Namun dari perbedaan itulah muncul banyak cerita dan berbagai situasi kami lalui bersama. Susah, senang, sakit, dan bahagia saat kelulusan sarjana kami rasakan, meski sesekali kami juga pernah mengalami pertengkaran. Persahabatan itu seperti rujak, manis asam asin bercampur jadi satu di dalam mulut. Hancur terkunyah namun mampu bertahan menghadang rasa lapar, seperti juga menahan ego yang mengalir dalam diri setiap manusia.

Kutatap langit bertabur bintang yang meski tampak kecil, namun mampu bersinar di pekat langit. Merenung dalam kesendirian, seolah berbincang bersama dingin malam dan suara jangkrik, yang berdendang berkicau di tengah pepohonan. Tak berani aku melirik jam tanganku. Karena besok adalah hari pernikahan sahabatku, yang sudah kulanggar janji padanya untuk hadir sebagai saksi. Aku ingin marah, tapi tidak bisa. Pekerjaan dan reputasiku sebagai taruhannya. Hanya butir airmata dan desah nafas tak beraturan sebagai lambang rasa piluku kini, karena aku juga manusia berhati dan perasaan.

Sepotong kain tebal membalutku dari belakang. Spontan aku menoleh dan menemukan sesosok lelaki langsung duduk di sampingku. “Boleh saya hapus airmata kamu?” tanyanya. Membuatku tersadar, mata dan pipiku sudah benar-benar membanjiri wajahku. Meski jemarinya berkulit kasar dan berotot, saat menyentuh wajahku tanpa senyum, malah terasa lembut.
Ternyata, tentara yang terkenal garang dan tampak galak, hanya luarnya saja. Dia juga makhluk sosial yang punya rasa empati untuk orang lain.

Pasti kamu rindu kehidupan kota,” katanya, memecah kesepian. ''Saya juga rindu keluarga, sudah 6 tahun saya tidak bertemu mereka,'' curhatnya.
Aku belum bicara sekata pun.
Dia malah melempar senyum dan asik bercerita tentang kehidupan tentara. Dia menyayangkan pudarnya rasa nasionalisme pada generasi muda sekarang. “Anak-anak sekolah sekarang kalau ditanya, siapa itu pangeran Diponegoro, Cut Nyak Dien, Sultan Hassanudin, dan sebagainya, mayoritas pasti tidak tahu. Mereka lebih hapal nyanyian Korea dan artis bugil Holywood, daripada pahlawan negri mereka sendiri,” tuturnya lalu memperlebar senyumnya.

Aku terdiam. Mungkin, salah satunya adalah aku, tapi aku bukan penggemar nyanyian Korea. Menurutnya, sejarah militer kita telah terkikis kekuatan era modernisasi, yang seolah menguasai generasi anak-anak untuk mengetahui tentang sejarah negara kita. Katanya, mereka seharusnya perlu tahu juga bahwa dulu, tentara berperang sampai titik darah penghabisan supaya kita semua bisa merdeka. Bisa duduk manis dengan tenang dan pergi ke luar rumah tanpa rasa cemas.

Hei, pria di hadapanku ini seketika mampu memberiku kehangatan, hanya dengan tatapan matanya dan suaranya bercerita. Mataku terbuka, tentang bagaimana menghargai kehidupan di nusantara. Tanpa tentara, aku dan generasi setelahku pun seharusnya mengerti, pasti kita bukan apa-apa. Tentara mengabdikan jiwa raganya untuk jutaan umat manusia, melindungi dan tetap mendekatkan diri kepada Tuhan. Terkesan aku, bukan hanya wartawan yang menentang bahaya, tidak sebanding dengan tentara, lebih beresiko dan lebih berempati kepada masyarakat.

Mata kami bertautan saling pandang yang semakin dalam. Jantungku malah berdegup kencang saat dingin malam terasa semkin menusuk ke kulit, refleks membuat sekujur tubuhku gemetar. Dinginnya melebihi suhu pegunungan saat aku bertualang di Gunung Lawu, perbatasan Jawa Timur dan Jawa Tengah. Diraihnya tanganku, lalu diusapnya cepat dengan kedua telapak tangannya, hingga perlahan tanganku yang rasanya nyaris beku mulai menghangat perlahan. Aku malah tertawa dan melihat embun keluar dari mulutku sendiri, “Maaf, merepotkan,” ucapku padanya.

Sebaiknya kita masuk saja ke dalam rumah. Nanti kamu bisa sakit kalau keras kepala bertahan di sini,” bujuknya padaku.
Tak bisa berkata lagi, aku hanya bisa mengangguk menurutinya. Aku menjejakkan kaki di tanah berumput, namun malah terjatuh karena tak kuasa menahan kakiku yang masih gemetar kedinginan.
Sigap dia menangkap merangkulku ke dalam peluknya, “Biar aku gendong ya,” ujarnya. Bohong kalau aku bilang 'bisa' padanya, maka hanya anggukan kepala yang kulakukan mengiyakan.
 
Maka sepanjang perjalanan menuju rumah penduduk, aku memeluknya dari gendongan di punggungnya yang bidang. Sejenak merasakan hangat yang tak pernah kurasakan sebelumnya saat berdekatan dengan seorang pria. Bahkan, aku lupa menanyakan siapa namanya, setelah dia pergi kembali berkumpul bersama teman-temannya di posko Tentara Nasional Indonesia.
***

Kudengarkan si tentara bercerita, saat kami menapaki jalan rerumputan dari desa ke desa. Ekspresi wajah dan intonasi suaranya yang berat membantuku merasakan bagaimana aktivitas yang telah dilalui para Tentara di masa lalu. Tak luput diceritakannya sejumlah koleksi senjata yang pernah dipakai para prajurit TNI dalam pertempuran mempertahankan Indonesia, terutama wilayah pulau Borneo. Seperti SMR s6-43, Mortir 81, SS 1 CAL 55 mm, Jet laras panjang CAL 5,56 mm, beserta belasan jenis peluru sebagai amunisi peralatan senjata perang, mulai dari ukuran ruas ibu jari, sampai ukuran pinggang manusia. Termasuk juga senjata tradisional khas Kalimantan, tombak, Mandau dan samurai. Percakapan kami terjalin dua arah, karena pengetahuanku yang setengah-setengah tentang kemiliteran terjawab olehnya. Serta merta pembahasan tentang pangkat TNI AD mulai dari pangkat paling bawah (Prada) Tamtama sampai pangkat tertinggi (Jenderal Besar) Perwira Tinggi, juga kisah G30S/PKI.

Pembahasan kami terus berlanjut seolah tanpa ujung. 
Kami melintasi aliran-aliran sungai dan pepohonan rindang, sesekali juga  berbincang dengan penduduk. Mudahnya penduduk melakukan transaksi perdagangan di Malaysia, belanja pakaian dan sembako. Mereka lebih memilih melintasi perbatasan ke Malaysia, daripada harus menunggu lamanya jadwal penerbangan yang hanya ada flight 2 minggu sekali, belum lagi mahalnya harga tiket, lamanya perjalanan dan sebagainya. 

Sementara untuk transaksi di Malaysia, mereka hanya perlu mengendarai sepeda motor dan menyeberangi pos perbatasan. Lebih praktis! Malaysia masih sangat mengambil peran dalam kehidupan masyarakat di perbatasan. Inilah keadaan perbatasan negara kita yang 'galau'. Beberapa kali aku membaur, mereka sampai punya semboyan, 'dada kami garuda, perut kami Malaysia'. Menurutku, ini miris!

Kami melintasi enam desa di bentangan Sungai Bahau yang masuk dalam wilayah adat Ulu Bahau. Desa Apau Ping, Long Berini, Long Kemuat, Long Alango sebagai ibukota Kecamatan, Long Tebulo dan Long Uli. Keenam desa ini, umumnya dihuni oleh empat sub-etnik Kenyah yaitu Leppu’ Ke di wilayah Apau Ping dan Long Tebulo, lalu Leppu’ Ma’ut di Long Alango, Long Kemuat dan Long Berini, juga Leppu’ Ndang dan Uma Lung di wilayah Long Uli.

Begitu banyak potensi di wilayah ini, seperti sumber daya alam dan kerajinannya. Masih banyak juga mitos dan cerita rakyat yang sarat makna. Hal-hal yang seperti itu malah punah di daerah kita sendiri. Lantas, perbatasan itu sebenarnya milik siapa? Indonesia atau Malaysia? Sementara pada saat pengakuan lahan oleh Malaysia, Indonesia “mati-matian” berteriak lantang bahwa perbatasan adalah milik kita, sementara kehidupan mereka di perbatasan ini berjalan lebih mudah dan “hidup” karena campur tangan Malaysia. 

“Lalu dimana empati Indonesia sendiri?” debatku menghangat, sambil menyusulnya melompat dari batu ke batu yang terendam di atas sungai berwarna bening. 
“Tidak akan pernah ada habisnya kita membahas perbatasan. Sama halnya ketika kita bicara tentang kesetiaan. Waktu pun tak bisa memastikannya,” katanya bijaksana. 
Aku melompat dan terpeleset sedikit, sampai refleks dia merengekuhku dalam rangkulnya. Jantungku berdebar tak karuan. Entah seperti rasa bahagia yang tiba-tiba bergejolak sampai ke ubun-ubun. 
Beberapa kali begitu.

Kami melanjutkan perjalanan kembali ke desa tinggal kami, sampai hari hampir gelap. Tidak berhenti aku tersenyum tiba-tiba setiap mengingat pria berambut cepak itu. Matanya teduh, senyumnya karismatik, dan sentuhannya membuatku luluh lantak tanpa perlawanan. Berdiri kami di atas batu, berhenti melangkah, menatap terbenamnya matahari. Baru saja mau kubongkar kameraku dari dalam tas, dia berkata, "Jauh lebih cantik tanpa lensa. Apa adanya lukisan Tuhan,'' kalimatnya membuatku membatalkan niatku memotret. 

Kuturuti kata-katanya, berdiri aku sejajar menatap senja di sampingnya. Ya, langit kemerahan itu sangat indah terpancar dengan mata telanjangku. Terpatri senyumku tanpa kendali, terlebih saat kurasa telapak tangan tentara itu menaut sengaja telapak tangaku dalam genggamnya.

Tidak ada kata yang sanggup keluar dari mulutku. Menoleh pun bahkan aku tak berani. Dalam hati aku berdialog seakan ada sahabatku di ujung pandangku. “Maaf, aku tidak bisa datang kali ini. Tapi nanti jika Tuhan pun mengijinkan, akan kubawa pria ini ke hadapan kalian,”  ---

Tidak ada komentar:

Posting Komentar