CERPEN :
Senandung
Rindu di Perbatasan Kaltim
Wartawati Idealis dan Tentara Nasionalis
Blackberryku
berdering nyanyian akustik merdu, di layar muncul nama Kesya. Merekah
senyumku melihat layar ponsel menunjukkan wajah hitam manis dan pipi
tembemnya. Haha, mungkin sudah beberapa bulan aku tidak mendengar
suaranya yang berkekuatan mesin kereta api, cepat dan berisik.
“Heh,
nona wartawan. Ngilang kemane aje lo? Lo lupa sama kita di mari?
Sombong amat kagak ada kabar sekali-kali
kemari,” oceh Kesya dengan logat betawi modern.
“Ah elah, sombong
apaan sih. Pan lo yang katanya sibuk. Gue mah standby aje kalo
lo mau curhat,” balasku sambil meniru intonasinya yang agak
meninggi.
Terdengar suara tawa
gadis sebayaku itu di seberang telepon, membuatku ikut tertawa, sambil
sesekali melihat ke arah aspal jalan di bawah tiang yang kupanjat,
saat ini.
“Lo harus kosongin
jadwal minggu depan buat gue. Kagak pake banyak alesan penipuan
sibuk, lo harus ke Jakarta,” katanya tiba-tiba.
“Kenapa
emang? Kangen banget sama gue? Kangen aja,
apa kangen banget?” kugoda dia.
“Astaga!
Lo lupa, kalau gue mau nikah sama Ragil, sabtu depan? Ck,
Dania, kan gue udah tag di twitter, mindtalk, facebook juga,” nada
suaranya terdengar gemas dan tampaknya serius.
Mimik wajahku
berubah ikut serius, sempat menghentikan gerakan kakiku yang sudah
menyerupai monyet kota. “Oh, iya. Inget kok, jadi lo nelpon gue
cuma mastiin gue dateng kan? Iye, gue dateng lah. Pernikahan langka
sepanjang masa mana mungkin gue lewatin,” kataku supaya dia tenang.
“Bener ye, nyai.
Meskipun lo bilang pernikahan langka sekalipun, kagak masalah. Yang
penting lo dateng saksiin gue di pelaminan sama Ragil. Janji?”
ujarnya yang tumben pasrah, setelah kuejek bercanda.
Luluh juga aku
mendengar dia memohon. “Oke, sabtu depan, jadwal gue bisa geser.
Cuma wawancara pejabat, bisa dihandle lah. Gue janji Kes. Gue
bakal dateng, meskipun nanti gue kagak bawa pendamping ke acara lo,”
kataku bersemangat.
“Kok lo curhat
sih, nyai? Kalo jomblo kagak perlu ajak-ajak gue. Gue mah udah
pernah, bosen,” suara Kesya kembali berkekuatan.
"Ah, belagu," tampikku.
Kemudian kami
tertawa bersama, memecah suasana jalanan yang tidak lagi kupedulikan.
Riang rasanya hatiku akan berjumpa lagi dengannya dan kawan-kawan
lainnya setelah dua tahun lamanya, empat hari lagi.
Hup!
Mendarat
sepasang kakiku dengan kompak, menjajak aspal jalan, seusai memanjat
tiang reklame setinggi tiga meter di sebuah jalan besar di dekat
lampu merah. Tabrakan sebuah truk kuning dengan mobil tronton di
jalan simpang empat, sudah berhasil dikendalikan oleh polisi laka
lantas. Untung saja aku datang tepat waktu lalu dengan sigap dan sok
berani, langsung memanjat ke atas tiang jumbo di dekat pos polisi,
yang menghadap ke tempat kejadian perkara (TKP). Lebih dari
seperempat jam memeluk tiang besi yang sekiranya berdiameter 30
sentimeter itu, hampir sama seperti lari sprint lima kilometer sambil dikejar pimpinan redaksi.
“Dania, tulisanmu
bagus. Saya suka. Tapi...,” itu yang dikatakannya setiap pagi saat
menegurku. “Bahasamu ini kurang berani. Kamu wartawan! Tidak perlu
ragu kalau memang harus menentang orang pemerintahan yang tidak benar
kerjanya. Itu uang rakyat taruhannya,” dia berkata tegas dan
lancar.
Aku hanya diam membisu kalau sudah begitu katanya, pimpinan
berita Kaltim News, salah satu media cetak harian terpopuler di pulau
Borneo ini.
Nyaris dua tahun aku
menjalani profesi yang memang terkenal menantang bahaya, apalagi
kalau melihat diriku sebagai perempuan. Usiaku juga sudah bukan
remaja lagi, seperempat abad, dua bulan lalu.
Bersama motor
kesayanganku, melintas kota kelahiranku yang baru saja kulihat lagi
setelah lebih dari lima tahun kutinggal merantau di Jakarta. Awalnya
cukup berat menjalani pekerjaan ini, apalagi aku harus meninggalkan
sahabat-sahabatku di kota Jakarta. Mereka selalu memberiku kekuatan
moral untuk bertahan di kota megapolitan sejuta godaan glamour itu.
Kini aku kembali ke kota minyak ini, karena mutasi kantor pusat.
Jelas, harus professional.
Melangkah santai aku
keluar dari ruang redaksi, ruang kerja para wartawan dan berita
diolah dari lapangan. “Dania,” terdengar suara yang tidak asing
di telingaku.
Aku menoleh ke sumber suara yang tak lain, suara pak
Kusnul, pimpinan redaksi. “Ya, pak,” jawabku lalu menghampirinya.
“Kamu tidak lupa
kan, minggu depan kamu evaluasi tahunan?”
Aku mengangguk
mengiyakan pertanyaannya.
“Bagus. Sebelum
itu, kamu saya tugaskan ke perbatasan Kaltim di Malinau ya. Berangkat
besok pagi sekali. Tugasmu pantau saja, bagaimana kabar di daerah
sana. Petik apa yang menarik, bawa pulang,” paparnya.
Seketika aku
terdiam. Rasanya, untuk menelan air liur di ujung kerongkongan saja
sulit.
Perbatasan? Di benakku langsung tergambar situasi, jauh dari
keramaian, kebisingan kendaraan, pepohonan lebat, rumah beralas tanah
dan berdinding kayu, air sungai yang dipakai beramai-ramai sekampung,
juga tidak ada listrik! Berangkatnya saja, membutuhkan waktu dua
hari. Belum lagi membutuhkan waktu beberapa hari untuk membaur bersama penduduk. Bahkan
memakan dua hari pula, untuk kembali ke kota ini. Itu yang kuingat saat
wartawan senior kantor pernah berbagi cerita saat dikirim tugaskan ke
pedalaman di perbatasan Kaltim.
Namun yang lebih
lagi membuatku benar-benar terbisu, belum genap empat jam lalu aku
berjanji pada Kesya untuk menyaksikan pernikahannya dengan Ragil,
produser muda yang ditaksirnya duluan sejak lulus kuliah.
“Seharusnya saya
sudah kabari kamu sejak kemarin. Tapi saya kemarin masih di
Samarinda dan baru ingat sekarang,” lanjut pak Kusnul.
Aku mulai gelisah,
hanya memberikan senyum tipis.
“Tenang saja,
semua sudah diurus. Tiket pesawat, akomodasi, pokoknya semuanya sudah
clear. Tinggal berangkat,” katanya, sambil menyodorkan amplop
putih.
Ah, benar katanya!
Sambil tersenyum dia
berkata, “Saya percaya, kamu sudah bisa jadi redaktur sepulang dari
sana. Promosi saya buat kinerja kamu,” dan ditepuknya lenganku
pelan, lalu bergegas pergi.
Aku menerima amplop
itu, tanpa tahu harus berkata apa, selain, “Siap, komandan,” lalu
menghela nafas lesu, meninggalkan kantor.
***
Perjalanan pertama
belum terasa melelahkan, sampai ke kota Tarakan, di kampung Data
Dawai, menggunakan pesawat charter dengan waktu tempuh perjalanan
selama 45 menit, yang hanya bisa menampung muatan sebanyak 300-400
kilogram, atau maksimal 5 orang. Bersama tiga orang anggota TNI Kodam VI/Mulawarman yang
juga bertugas untuk tinggal beberapa waktu di pedalaman, kami melalui
jalan darat, tentu saja dengan mobil lapangan -double cabin-. Kami
menempuh resiko jalan berlubang, berlumpur, terjal, dan rusak, hingga
sampai di sebuah kampung.
Dari sana kemudian naik kapal, dan
menitipkan mobil di kampung. Setelah kapal tersebut sampai di Long
Bagun, kami menginap di tenda, baru kemudian melanjutkan perjalanan
melewati arung jeram udang bertikungan tajam. Baru setelah itu, ada
pos yang menyediakan kapal kecil, sehingga kami harus bertukar ke
kapal kecil tersebut untuk menuju Tiong Ohang, kabupaten kecil
kampung Long Apari. Aman rasanya bepergian bersama tiga pria
bersenjata ini. Ada satu yang tampan. Ups!
Panjang
perjalanan sudah memakan waktu lebih dari 30 jam. Dan aku semakin
pasrah, melihat ponselku tak menangkap sinyal sama sekali, belum juga
kukabari pada Kesya aku tak bisa menghadiri pesta bahagianya. Masih
sekali lagi kapal lagi untuk bisa tiba di Ulu Bahau. Daerah tujuan
yang kutuju. Setelah dari Long Pujungan
mudik lagi ke arah hulu barulah tiba di Long Alango.
Wilayah kecamatan, yang juga merupakan satu kawasan adat suku dayak
Kenyah yang dipimpin seorang Kepala Adat Besar Ulu Bahau. Ulu Bahau,
salah satu daerah perbatasan antara Indonesia dan Malaysia di
Kecamatan Hulu Bahau, Kabupaten Malinau, Kalimantan Timur.
Kubongkar bekalku,
memasang lensa tele nikkor berjarak 70-300 meter ke depan. Berjalan
kaki kami menyusuri jalan-jalan setapak menuju rumah kepala adat.
Sesekali aku mengambil gambar, langsung merangkai alur cerita
perjalanan di kepalaku yang rencananya akan kubuat menjadi berita
indepth feature.
Kesukaanku pada alam mampu merobohkan
kegelisahanku pada pesta Kesya, meskipun masih saja terhantui rasa
bersalah. Tak henti kuucapkan dalam hati, “This is amazing. Shit,
Ini luar biasa,” sampai bulu kudukku naik turun. Ini pengalaman
pertamaku tugas ke perbatasan Indonesia-Malaysia.
Tidak seperti
bayangan negatifku sebelumnya. Penduduk di sini ramah. Mereka
menyuguhkan segala macam sambutan dan suguhan makanan dan buah-buahan. Terutama bagi
aku dan ketiga tentara lainnya yang juga pertama kali diterjunkan
kemari. Usai berkenalan dengan petinggi desa, dan beberapa warga
yang ikut hadir di pendopo desa, aku melepaskan diri dari rombongan.
Memulai tugasku, merangkum situasi menjadi sebuah kabar terkini
tentang wilayah yang selama ini masih menjadi kontroversi yang tidak
ada habisnya.
Umumnya,
di perbatasan, 90 persen penduduk, mata pencariannya
sebagai petani. Mereka menggantungkan hidup pada ladang. Namun, ada
juga yang menggantungkan hidup pada hasil kerajinan. Kehidupan di
sini masih natural, alami, sangat menyatu dengan alam. Jarang sekali
ada hotel atau penginapan, kamar mandinya pun di beberapa tempat,
masih tidak punya di sekitar rumah. Sehingga
sungai adalah media pengganti kamar mandi.
Berdiri aku di atas
batu besar, menghadap lurus ke aliran sungai, mengantar kepergian
matahari tenggelam di ufuk timur. Menyalang mata kananku membidik
pemandangan dari balik lensa. Berkali-kali kulepas dan pasang kembali
kamera di depan mataku, menyaksikan langsung salah satu sunset
terindah yang pernah kulihat, selain di Pantai Senggigi, Lombok, Nusa
Tenggara Barat tahun lalu. Tak sengaja kutarik senyumku begitu lepas,
saking mengagumi anugerah Tuhan yang tampil saat ini.
Usai itu, aku
berbalik badan berniat kembali ke rumah salah satu penduduk yang
kutumpangi untuk bermalam. Terhenti langkahku, melihat situasi kurang
dari 50 meter di depanku.
Seorang tentara sedang bermain sepak bola
bersama anak-anak yang sekiranya berusia kurang dari 10 tahun.
Terdengar tawa riang di balik gerakan-gerakan lincah mengoper dan
menendang ke sana kemari. Senyumku merekah lebar begitu kusadari,
tentara itu mengikat sarung di pinggangnya, dan masih mengenakan
kopiah di kepalanya. Aku melirik jam dan memahami, pastinya tentara
itu usai menunaikan sholat maghrib. Lalu dia melihat ke arahku dan
tersenyum. Manis!
***
Hari
kedua. Meskipun dalam pergaulan sehari-hari masyarakat yang berasal
dari keturunan bangsawan (paren) maupun yang berasal dari keturunan
masyarakat biasa (panyin) dapat berbaur dan hidup berdampingan secara
egaliter, namun dalam penerapan budaya tertentu, masyarakat Kenyah di
Ulu Bahau masih sangat memperhatikan mana yang termasuk dalam
keturunan bangsawan atau bukan. Hal ini terlihat jelas dalam
penelusuranku tentang penggunaan Saung Seling dalam kehidupan
sehari-hari. Bagi masyarakat yang merasa dirinya bukan
keturunan bangsawan, jangankan memakai, untuk membuatnya pun mereka merasa
tak pantas. Selain terkena sangsi sosial
juga akan terkena sangsi adat dari leluhur yaitu "Parit" atau bisa
mendapat "Bala".
Di
kesunyian malam, hatiku bertarung melawan rasa rindu yang hebat.
Entah berapa bilangan detik yang bisa kurangkai untuk menjahit memori
bersama teman-teman seperjuanganku dulu di Ibu kota. Teringat aku
saat kali pertama bertemu Kesya, Degina, Hamzah dan Wahyu, di kampus
swasta, jurusan berbeda. Namun dari perbedaan itulah muncul banyak
cerita dan berbagai situasi kami lalui bersama. Susah, senang, sakit,
dan bahagia saat kelulusan sarjana kami rasakan, meski sesekali kami
juga pernah mengalami pertengkaran. Persahabatan
itu seperti rujak, manis asam asin bercampur jadi satu di dalam
mulut. Hancur terkunyah namun mampu bertahan menghadang rasa lapar,
seperti juga menahan ego yang mengalir dalam diri setiap manusia.
Kutatap langit
bertabur bintang yang meski tampak kecil, namun mampu bersinar di
pekat langit. Merenung dalam kesendirian, seolah berbincang bersama
dingin malam dan suara jangkrik, yang berdendang berkicau di tengah
pepohonan. Tak berani aku melirik jam tanganku. Karena besok adalah
hari pernikahan sahabatku, yang sudah kulanggar janji padanya untuk
hadir sebagai saksi. Aku ingin marah, tapi tidak bisa. Pekerjaan dan
reputasiku sebagai taruhannya. Hanya butir airmata dan desah nafas
tak beraturan sebagai lambang rasa piluku kini, karena aku juga
manusia berhati dan perasaan.
Sepotong
kain tebal membalutku dari belakang. Spontan aku menoleh dan
menemukan sesosok lelaki langsung duduk di sampingku. “Boleh saya
hapus airmata kamu?” tanyanya. Membuatku tersadar, mata dan pipiku
sudah benar-benar membanjiri wajahku. Meski jemarinya berkulit kasar
dan berotot, saat menyentuh wajahku tanpa senyum, malah terasa
lembut. Ternyata, tentara yang terkenal
garang dan tampak galak, hanya luarnya saja. Dia
juga makhluk sosial yang punya rasa empati untuk orang lain.
“Pasti kamu rindu
kehidupan kota,” katanya, memecah kesepian. ''Saya juga rindu
keluarga, sudah 6 tahun saya tidak bertemu mereka,'' curhatnya.
Aku belum bicara
sekata pun.
Dia malah melempar
senyum dan asik bercerita tentang kehidupan tentara. Dia menyayangkan
pudarnya rasa nasionalisme pada generasi muda sekarang. “Anak-anak
sekolah sekarang kalau ditanya, siapa itu pangeran Diponegoro, Cut
Nyak Dien, Sultan Hassanudin, dan sebagainya, mayoritas pasti tidak tahu.
Mereka lebih hapal nyanyian Korea dan artis bugil Holywood, daripada
pahlawan negri mereka sendiri,” tuturnya lalu memperlebar
senyumnya.
Aku terdiam.
Mungkin, salah satunya adalah aku, tapi aku bukan penggemar nyanyian
Korea. Menurutnya, sejarah militer kita telah terkikis kekuatan era
modernisasi, yang seolah menguasai generasi anak-anak untuk
mengetahui tentang sejarah negara kita. Katanya, mereka seharusnya
perlu tahu juga bahwa dulu, tentara berperang sampai titik darah
penghabisan supaya kita semua bisa merdeka. Bisa duduk manis dengan
tenang dan pergi ke luar rumah tanpa rasa cemas.
Hei, pria di
hadapanku ini seketika mampu memberiku kehangatan, hanya dengan
tatapan matanya dan suaranya bercerita. Mataku terbuka, tentang
bagaimana menghargai kehidupan di nusantara. Tanpa tentara, aku dan
generasi setelahku pun seharusnya mengerti, pasti kita bukan apa-apa.
Tentara mengabdikan jiwa raganya untuk jutaan umat manusia,
melindungi dan tetap mendekatkan diri kepada Tuhan. Terkesan aku,
bukan hanya wartawan yang menentang bahaya, tidak sebanding dengan
tentara, lebih beresiko dan lebih berempati kepada masyarakat.
Mata kami bertautan
saling pandang yang semakin dalam. Jantungku malah berdegup kencang
saat dingin malam terasa semkin menusuk ke kulit, refleks membuat
sekujur tubuhku gemetar. Dinginnya melebihi suhu pegunungan saat aku
bertualang di Gunung Lawu, perbatasan Jawa Timur dan Jawa Tengah. Diraihnya
tanganku, lalu diusapnya cepat dengan kedua telapak tangannya, hingga
perlahan tanganku yang rasanya nyaris beku mulai menghangat perlahan.
Aku malah tertawa dan melihat embun keluar dari mulutku sendiri,
“Maaf, merepotkan,” ucapku padanya.
“Sebaiknya kita
masuk saja ke dalam rumah. Nanti kamu bisa sakit kalau keras kepala
bertahan di sini,” bujuknya padaku.
Tak bisa berkata
lagi, aku hanya bisa mengangguk menurutinya. Aku menjejakkan kaki di
tanah berumput, namun malah terjatuh karena tak kuasa menahan kakiku
yang masih gemetar kedinginan.
Sigap dia menangkap
merangkulku ke dalam peluknya, “Biar aku gendong ya,” ujarnya.
Bohong kalau aku bilang 'bisa' padanya, maka hanya anggukan kepala yang
kulakukan mengiyakan.
Maka sepanjang
perjalanan menuju rumah penduduk, aku memeluknya dari gendongan di
punggungnya yang bidang. Sejenak merasakan hangat yang tak pernah
kurasakan sebelumnya saat berdekatan dengan seorang pria. Bahkan, aku
lupa menanyakan siapa namanya, setelah dia pergi kembali berkumpul
bersama teman-temannya di posko Tentara Nasional Indonesia.
***
Kudengarkan si
tentara bercerita, saat kami menapaki jalan rerumputan dari desa ke
desa. Ekspresi wajah dan intonasi suaranya yang berat membantuku
merasakan bagaimana aktivitas yang telah dilalui para Tentara di masa
lalu. Tak luput diceritakannya sejumlah koleksi senjata yang pernah
dipakai para prajurit TNI dalam pertempuran mempertahankan Indonesia,
terutama wilayah pulau Borneo. Seperti SMR s6-43, Mortir 81, SS 1 CAL
55 mm, Jet laras panjang CAL 5,56 mm, beserta belasan jenis peluru
sebagai amunisi peralatan senjata perang, mulai dari ukuran ruas ibu
jari, sampai ukuran pinggang manusia. Termasuk juga senjata
tradisional khas Kalimantan, tombak, Mandau dan samurai. Percakapan
kami terjalin dua arah, karena pengetahuanku yang setengah-setengah
tentang kemiliteran terjawab olehnya. Serta merta pembahasan tentang
pangkat TNI AD mulai dari pangkat paling bawah (Prada) Tamtama sampai
pangkat tertinggi (Jenderal Besar) Perwira Tinggi, juga kisah
G30S/PKI.
Pembahasan kami
terus berlanjut seolah tanpa ujung.
Kami melintasi aliran-aliran sungai
dan pepohonan rindang, sesekali juga berbincang dengan penduduk.
Mudahnya penduduk melakukan transaksi perdagangan di Malaysia,
belanja pakaian dan sembako. Mereka lebih memilih melintasi
perbatasan ke Malaysia, daripada harus menunggu lamanya jadwal
penerbangan yang hanya ada flight 2 minggu sekali, belum lagi
mahalnya harga tiket, lamanya perjalanan dan sebagainya.
Sementara
untuk transaksi di Malaysia, mereka hanya perlu mengendarai sepeda
motor dan menyeberangi pos perbatasan. Lebih praktis! Malaysia masih
sangat mengambil peran dalam kehidupan masyarakat di perbatasan.
Inilah keadaan perbatasan negara kita yang 'galau'. Beberapa kali aku
membaur, mereka sampai punya semboyan, 'dada kami garuda, perut kami
Malaysia'. Menurutku, ini miris!
Kami melintasi enam
desa di bentangan Sungai Bahau yang masuk dalam wilayah adat Ulu
Bahau. Desa Apau Ping, Long Berini, Long Kemuat, Long Alango sebagai
ibukota Kecamatan, Long Tebulo dan Long Uli. Keenam desa ini, umumnya
dihuni oleh empat sub-etnik Kenyah yaitu Leppu’ Ke di wilayah Apau
Ping dan Long Tebulo, lalu Leppu’ Ma’ut di Long Alango, Long
Kemuat dan Long Berini, juga Leppu’ Ndang dan Uma Lung di wilayah
Long Uli.
Begitu banyak
potensi di wilayah ini, seperti sumber daya alam dan kerajinannya.
Masih banyak juga mitos dan cerita rakyat yang sarat makna. Hal-hal
yang seperti itu malah punah di daerah kita sendiri. Lantas,
perbatasan itu sebenarnya milik siapa? Indonesia atau Malaysia?
Sementara pada saat pengakuan lahan oleh Malaysia, Indonesia
“mati-matian” berteriak lantang bahwa perbatasan adalah milik
kita, sementara kehidupan mereka di perbatasan ini berjalan lebih
mudah dan “hidup” karena campur tangan Malaysia.
“Lalu dimana
empati Indonesia sendiri?” debatku menghangat, sambil menyusulnya
melompat dari batu ke batu yang terendam di atas sungai berwarna
bening.
“Tidak akan pernah ada habisnya kita membahas perbatasan.
Sama halnya ketika kita bicara tentang kesetiaan. Waktu pun tak bisa
memastikannya,” katanya bijaksana.
Aku melompat dan terpeleset
sedikit, sampai refleks dia merengekuhku dalam rangkulnya. Jantungku
berdebar tak karuan. Entah seperti rasa bahagia yang tiba-tiba
bergejolak sampai ke ubun-ubun.
Beberapa kali begitu.
Kami
melanjutkan perjalanan kembali ke desa tinggal kami, sampai hari
hampir gelap. Tidak berhenti aku tersenyum tiba-tiba setiap mengingat
pria berambut cepak itu. Matanya teduh, senyumnya karismatik, dan
sentuhannya membuatku luluh lantak tanpa perlawanan. Berdiri
kami di atas batu, berhenti melangkah, menatap terbenamnya matahari.
Baru saja mau kubongkar kameraku dari dalam tas, dia berkata, "Jauh
lebih cantik tanpa lensa. Apa adanya lukisan Tuhan,'' kalimatnya membuatku
membatalkan niatku memotret.
Kuturuti kata-katanya, berdiri aku sejajar menatap senja di sampingnya. Ya, langit
kemerahan itu sangat indah terpancar dengan mata telanjangku.
Terpatri senyumku tanpa kendali, terlebih saat kurasa telapak tangan
tentara itu menaut sengaja telapak tangaku dalam genggamnya.
Tidak
ada kata yang sanggup keluar dari mulutku. Menoleh
pun bahkan aku tak berani. Dalam hati aku berdialog seakan ada
sahabatku di ujung pandangku. “Maaf, aku tidak bisa datang kali
ini. Tapi nanti jika Tuhan pun mengijinkan, akan kubawa pria ini ke
hadapan kalian,” ---